Minggu, 29 Desember 2013

Review Jurnal

REVIEW
Strategi Koperasi Dalam Menghadapin Iklim Usaha yang Kurang Kondusif

Slamet Subandi

INFOKOP VOLUME 16-SEPTEMBER 2008: 102-119

III. Strategi Pengembangan Koperasi

 Tidaklah terlalu mengherankan bila meskipun berbagai permasalahan yang sejak beberapa tahun lalu telah dirasakan menjadi gangguan bagi ekonomi rakyat, namun sampai saat inipun masalah tersebut belum teratasi. Hal tersebut dikarenakan antara lain masih terbatasnya kemampuan koperasi untuk mengakses pada sumber modal, teknologi, pasar, informasi bisnis, rendahnya kuwalitas, kelembagaan, manajemen dan organisasi KUMKM.
Sementara itu tantangan lain yang tidak kalah pentingnya yang juga menghadang ekonomi rakyat adalah kemampuan dan kesanggupannya untuk berpotensi secara lebih produktif dan lebih efisien sebagai wujud pelaku ekonomi yang berkeunggulan kompetitif dalam menghadapi era globalisasi. Ancaman besar yang juga tengah dihadapi oleh ekonomi rakyat adalah persaingan
yang semakin tajam, tidak saja atas produk barang dan jasa dari para pelaku ekonomi di dalam negeri sendiri, tetapi juga masuknya produk-produk luar negeri yang sebenarnya sudah dapat diproduksi oleh ekonomi rakyat di tanah air yang tergelar bebas di pasar domestik, serta derasnya jaringan institusi bisnis internasional menerobos masuk ke tengah tengah masyarakat, termasuk keberadaan pasar- pasar modern yang merupakan hyper market. Sementara itu hambatan besar yang dihadapi ekonomi rakyat untuk tetap dapat bertahan, maju dan berkembang adalah tingkat kepedulian, keberpihakan, komitmen dari para pemimpin bangsa, para pengemban kekuasaan, para pihak terkait, para pemangku kepentingan yang tercermin tidak konsisten dan istiqomah.
Melihat kondisi perkoperasian di tanah air dewasa ini, sebagaimana diungkap dan disebutkan dengan jelas dalam dokumen RPJM Nasional tahun 2004-2009, bahwa “ …Banyak koperasi yang terbentuk tanpa didasari adanya            kebutuhan/kepentingan           ekonomi          bersama           dan      prinsip kesukarelaan dari para anggota sehingga kehilangan jati dirinya sebagai koperasi yang otonom dan swadaya dan mandiri …………”
Koperasi masih dijadikan oleh segelintir orang/kelompok, baik di luar maupun di dalam gerakan koperasi itu sendiri, untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau golongannya, yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan anggota koperasi yang bersangkutan dan nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip koperasi”, maka l,angkah pemurnian hendaknya dapat dilakukan dengan segera oleh semua pihak yang terkait dan para pemangku kepentingan, terutama kalangan gerakan koperasi sendiri secara serentak dan simultan. Bahkan bila perlu langkah tersebut dinyatakan sebagai gerakan nasional. Nampaknya semua jurus reformasi tersebut di atas, baik yang berupa langkah restorasi, rekonstruksi, konsolidasi, revitalisasi maupun regenuinisasi atau langkah pemurnian, harus dilakukan secara menyeluruh kepada semua koperasi dengan tetap  memperhatikan dan melakukan penyesuaian dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan mendatang.
Dalam kaitan ini, maka urgensi melahirkan, menumbuh kembangkan dan memerankan kembali   kader-kader koperasi, menjadi sangat relevan dan urgen untuk digarap kembali secara lebih sistemik dan komperehensif.
Pengefektifan mata pelajaran atau mata kuliah koperasi di lembaga-lembaga pendidikan,   keberadaan lembaga-lembaga semacam Sekolah Koperasi Menengah Atas (Skopma), Akademi Koperasi (Akop), Institut Manajemen Koperasi (Ikopin), serta intensitas dan ekstensitas diklat dan penyuluhan koperasi, kiranya akan dapat memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi upaya tersebut.

Menurut Mutis (1999) untuk memberdayakan wirausaha dengan skala usaha kecil, menengah, dan koperasi ataupun kalangan usaha di sektor informal adalah salah satu bentuk menerjemahkan visi kerakyatan dalam fraxis bisnis kekinian.
Jenis agroindustri merupakan keputusan yang paling menentukan keberhasilan dan berkelanjutan agroindustri yang akan dibangun atau dikembangkan. Menurut UU Nomor 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian,  Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar pada atas asas kekeluargaan.

Perlu dikemukakan bahwa lembaga koperasi dalam konteks ini bukan semata mata amanat Pasal 33 UUD 1945 normatif, melainkan yang Iebih hakiki adalah bahwa koperasi dalam
berbagai hal mempunyai keunggulan dibandingkan lembaga ekonomi lainnya, terutama pada agrobisnis agroindustri dan pembangunan ekonomi pedesaan (position). Demikian juga lembaga koperasi bukan satu satunya pilihan dalam mengembangkan agroindustri di Indonesia, melainkan suatu kelebihan yang cukup penting dan sangat besar artinya dalam mengembangkan kelembagaan koperasi, karena petani yang juga anggota koperasi selain sebagai anggota juga sebagai pemilik (owners) dan sekaligus sebagai pemakai (users).
Dari berbagai uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dampak antara dari kedua kondisi tersebut adalah iklim usaha koperasi yang tidak mudah untuk dapat dieliminir oleh kalangan UMKM sendiri. Akibatnya usaha koperasi tidak pernah mencapai titik marginal produktivity. Dengan perkataan produktifitas koperasi selalu berada dibawah nilai harapan produktifitas yang sesuai dengan potensi   yang dimilikinya.
Tidak kondusifnya iklim usaha koperasi yang mempengaruhi produktifitas koperasi dapat dilihat dari berbagai aspek kegiatan usaha UMKM sebagai berikut :
1)   Rendahnya kualitas SDM
Disamping kajian dari aspek pendapatan juga perlu diperhatikan kondisi SDM usaha mikro dan usaha kecil dari aspek pengalaman, pengetahuan dan pendidikan mereka. Hasil pengamatan Suhartoyo di Kabupaten Tasikmalaya (IPB 2004), seperti memperlihatkan bahwa rata-rata pengalaman pengelola koperasi dibidang usaha yang ditekuninya relatif cukup baik, tetapi dari aspek pendidikan dan pengetahuan tentang inovasi dibidang produksi dan pengembangan teknologi serta, dibidang manajemen usaha dan pemasaran relatif rendah.
2)   Kesulitan untuk mengembangkan permodalan
Rata-rata pemilikan modal koperasi dari tahun ke tahun pada indeks harga tetap relatif rendah yaitu 114.231.647. Demikian juga pertumbuhan modal mereka tidak banyak berubah, kalaupun ada kecenderungan sedikit meningkat hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya inflasi. Kondisi yang demikian nampaknya sangat wajar karena pendapatan yang diperoleh koperasi belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.  Kecil sekali peluang bagi kelompok ini untuk menabung yang dapat digunakan untuk menambah modal atau meningkatkan investasinya.
 3)   Rendahnya kualitas teknologi
Hasil kajian Kementerian Negara Koperasi dan UKM tahun 2005 terhadap
27 koperasi contoh di 4 propinsi contoh menginformasikan bahwa nilai bobot rata-rata teknologi produksi yang digunakan oleh koperasi baru mencapai nilai 1,67 atau tergolong dalam kelompok pengguna teknologi tradisional. Lebih lanjut dikatakan pengembangan teknologi produksi dari produk-produk yang dihasilkan koperasi belum dapat meningkatkan produkfitas dan memperbaiki kualitas produk.
4)   Kelemahan akses terhadap Pasar
Kesulitan koperasi dalam membangun akses pasar lebih disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang belum dapat dieliminasi terutama yang berkaitan dengan informasi. Tetapi kendala tersebut bukanlah harga mati, karena banyak variabel-variabel pemasaran produk koperasi yang dapat diandalkan seperti rendahnya harga jual produk koperasi yang menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan di pasar internasional. Rendahnya eksistensi koperasi dalam penguasaan pasar memang lebih terlihat sebagai dampak dari kondisi pasar yang tidak kondusif. Namun sesungguhnya kondisi pasar yang demikian merupakan indikator dari adanya masalah pokok yang tidak terlihat secara nyata, yaitu sistem pemasaran yang dikuasai oleh komponen sistem yang lebih kuat, sehingga koperasi selalu hanya berperan sebagai Price Taker (penerima harga). Dengan mengembangkan kemampuan menangkap informasi, maka diharapkan dominansi komponen lainnya (para pedagang besar dan eksportir) yang memiliki bargaining lebih kuat, yang selama ini berperan sebagai price maker (pembuat harga) akan dapat dipatahkan.
Besarnya minat pasar internasional terhadap produk-produk koperasi di Indonesia menurut Wachidin (2001), terlihat di beberapa negara terutama di daerah Afrika dan di negara-negara Arab. Sebagian konsumen yang mengkosumsi produk-produk koperasi dari Indonesia ternyata tidak mengetahui bahwa barang yang mereka beli adalah produk dari koperasi di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah tersebut, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah mengenalkan produk-produk koperasi tersebut dengan lebih mengembangkan jaringan pasar dan atau mengintensifkan kegiatan promosi. Kedua kegiatan tersebut belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh koperasi karena keterbatasan yang ada dikalangan mereka antara lain, a) sebagian besar usaha mikro dan usaha kecil belum memiliki izin usaha, b) rendahnya pengetahuan tentang informasi pasar dan terbatasnya dana untuk melakukan kegiatan-kegiatan diluar kegiatan produksi. Hal ini tentu saja menjadi dasar pemikiran tentang perlunya peranan pemerintah untuk terlibat langsung dalam mengembangkan sistem pemasaran bagi koperasi. Tetapi pemikiran tersebut juga terbentur pada berbagai masalah struktural yang bermuara pada komitmen banyak pihak tentang perlunya memberdayakan koperasi dalam rangka membangun perekonomian nasional yang bercorak kerakyatan.
Organisasi koperasi dibentuk atas dasar kepentingan dan kesepakatan anggota pendirinya dan mempunyai tujuan utama untuk lebih mensejahterakan anggotanya. Sistem kontribusi insentif sangat relevan dalam suatu organisasi koperasi. Sistem tersebut dapat menjamin eksistensi koperasi dan sekaligus merangsang anggota untuk lebih berpartisipasi secara aktif. Dalam pembicaraan mengenai organisasi di masyarakat, khususnya di daerah perdesaan, kiranya lebih dulu perlu dipahami bahwa basis terendah dalam kehidupan pedesaan adalah “desa”, atau kampung, dusun dusun kecil yang penduduknya hidup berkelompok dengan keterikatan/ketergantungan antar individu yang sangat erat. Komunitas penduduk berlangsung dalam rangka membangun kehidupan yang pada awalnya bersifat subsistem. Meskipun demikian (pola hidup subsistem), kaitan pemasaran sudah ada dengan daerah urban yang lebih modern. Dalam hal ini, yang dikenal sebagai pedesaan adalah kumpulan rumah tangga petani yang secara tradisional mengambil keputusan keputusan produksi, konsumsi, dan investasi. Di sektor perkotaan kegiatan yang sama dilakukan oleh lembaga perusahaan dan rumah tangga secara terpisah dengan tujuan memaksimumkan penghasilan perusahaan.
Hayami (1981) menguraikan bahwa faktor kegiatan kolektif/kerja sarana kolektif (colective action sangat penting untuk diorganisir terhadap pemanfaatan aset masyarakat). Petani secara individu sebagai unit produksi terkecil sulit untuk memperbesar keluarannya karena produksi agraris dihadapkan pada kendala proses biologi yang dipengaruhi oleh unsur ekologis, perlu bekerjasama. Penggunaan aset masyarakat (public goods) seperti pemanfaatan air sungai, secara fisik dan kelembagaan dalam kaitan kerja sama kolektif memungkinkan petani untuk membangun dan memelihara social overhead capital, yang tidak saja mengurangi ketergantungan pada faktor alam, tetapi menghindarkan mereka dari konflik konflik sosial.
Hal lain yang patut dipertimbangkan mengenai kebutuhan kerja sama kolektif ditunjukkan oleh permintaan terhadap tenaga kerja. Pada musim panen permintaan tenaga kerja meningkat pesat dan di musim tertentu menurun drastis. Jadi, variasi musim sangat menentukan dan kegotong royongan masyarakat menjadi faktor penting guna mengatasi ketidakpastian tingkat produksi. Seringkali semangat gotong royong masyarakat diperlukan dalam kaitan pengalihan tenaga kerja, umpamanya penggantian tenaga kerja manusia dengan hewan dan mesin mesin (seperti traktor) guna meningkatkan produktivitas, yang bila tidak dilandasi jiwa kebersamaan tadi berbagai konflik kepentingan bisa muncul menjadi persoalan baru.
Sebagai contohnya dalam melakukan usaha, petani untuk menaikkan pendapatan keluarga dan faktor konsumsi keluarganya (melalui peningkatan produksi usaha taninya). Inilah, mereka banyak mengadakan kontak dengan dunia luar, terutama dalam memenuhi kebutuhan sarana produksi. Penggunaan faktor produksi sedikit banyak ditentukan oleh ketentuan adat istiadat melalui lembaga tradisional seperti sistem Mapalus di Sulawesi dan melalui kelompok tani. Dengan berorganisasi ini, koordinasi pemanfaatan sumberdaya yang langka bisa dinikmati oleh petani petani individu. Dengan demikian apa yang tampak dalam kehidupan ekonomi para petani adalah hubungan kekerabatan itu sangat erat dan berpengaruh besar, sebab mereka hidup di lokasi yang sama sehingga mendorong para petani bekerja sama untuk mempertahankan kehidupan.
IV.   Penutup
Dengan memperhatikan berbagai karakter dan potensi koperasi terutama dalam hal ketahanannya menghadapi kondisi perekonomian nasional yang belum berpihak kepada kelopok miskin maka sudah sepatutnya koperasi lebih diberdayakan. Kepentingan pemberdayaan koperasi terkait dengan penggunaan modal, penggunaan bahan baku lokal, serta kemampuan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu maka dalam rangka mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan pemberdayaan koperasi menjadi salah satu opsi yang perlu diperhitungkan. Dari pemikiran yang demikian idealnya pendekatan pembangunan sekarang ini diarahkan pada usaha mempercepat proses pemberdayaan koperasi. Untuk mengimplementasikan konsepsi tersebut dalam bentuk program-program nyata diperlukan adanya komitmen politik yang kuat dari semua kalangan, dengan menghilangkan terlebih dahulu kepentingan politis, kelompok, maupun kedaerahan. Langkah kearah ini memerlukan kemampuan untuk memberikan keyakinan kepada para pengambil keputusan agar lebih berpihak kepada koperasi sebagai lembaga perekonomian rakyat. Namun demikian, sejauh tidak adanya proses komunikasi politik yang langsung dibangun dan ditumbuhkan oleh para pengambil kebijakan di pusat dan di daerah yang berdedikasi untuk memberdayakan koperasi, maka mustahil bagi koperasi untuk dapat berdiri sejajar dengan perusahaan besar. Sejalan dengan keinginan diatas perlu diperhatikan bahwa empat sektor utama yang menjadi basis usaha koperasi sekarang ini adalah sektor pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Keempat sektor tersebut dalam menghadapi pasar global yang sangat kompetitif terutama dua sektor yang sangat krusial adalah Industri dan perdagangan. Kedua sektor ini menjadi begitu penting karena dalam era globalisasi mendatang tantangan berat yang dihadapi adalah merubah orientasi pembangunan, dari orientasi pemenuhan kebutuhan dalam negeri ke usaha menghadapi persaingan pasar. Dalam kondisi yang demikian ternyata iklim usaha di dalam negeripun belum mendukung pemberdayaan koperasi. Hal ini di indikasikan dari sulitnya menperoleh pinjaman modal dan mendapatkan peluang usaha pada kegiatan bisnis tertentu seperti dalam penyaluran pupuk dan sembako.

Secara umum dapat dikatakan bahwa gambaran kondisi iklim usaha koperasi pada saat ini, dilihat dari peluang pemberdayaan UMKM dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, dan sektor ke sektor belum mengindikasikan besarnya harapan pada kelompok usaha tersebut untuk pendukung tumbuhnya sistem perekonomian yang berkeadilan. Pemberdayaan koperasi memang sudah menjadi komitmen nasional dalam rangka mewujudkan keadilan pembangunan, karena koperasi memiliki potensi yang sangat besar untuk mendukung pemerataan pembangunan baik antar sektor, antara golongan maupun antar daerah. Kondisi iklim usaha yang diwarnai oleh masalah-masalah seperti dikemukakan diatas, tetap belum mampu untuk menjadikan koperasi sebagai basis pembangunan daerah yang sekaligus mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Dampak dari adanya permasalahan tersebut terlihat nyata dalam bentuk, a) Rendahnya produktifitas koperasi yang berdampak pada timbulnya kesenjangan antara koperasi dengan usaha besar, b)Terbatasnya akses koperasi kepada sumberdaya produktif seperti permodalan teknologi dan pasar dan, c) Marjinalisasi dari kelompok ini baik dari aspek skala usaha, teknologi, informasi dan pendapatan mereka.
Ketiga dampak masalah yang mewarnai proses pemberdayaan koperasi tersebut pada hakekatnya merupakan dampak dari kebijakan makro ekonomi yang merupakan derivasi dari sistem perekonomian yang selama lebih dari empat puluh tahun mendewakan pertumbuhan.
Konsepsi perekonomian yang dimotori oleh kelompok pengusaha besar tersebut mencerminkan kepercayaan dari para pengambil kebijakan terhadap mekanisme pasar yang dapat mendistribusikan marjin secara proporsional diantara komponen-komponen sistem dalam sistem perekonomian liberal. Pemikiran Adam Smit yang mengilhami pengikut- pengikutnya dan dimordernisir oleh Schumpeter (1934) ini ternyata masih menjadi phobia bagi sebagian besar negara berkembang (termasuk Indonesia) dalam merancang sistem perekonomiannya.   Kepercayaan yang berlebihan pada paham ekonomi neoklasik yang sekarang telah berubah menjadi ultraneoklasik, tidak saja telah melahirkan konglomerasi tetapi juga telah membangun situasi perekonomian yang diwarnai berbagai ketimpangan yang antara lain adalah memburuknya iklim usaha bagi koperasi. Hal yang demikian juga terindikasi dari sangat tidak wajarnya rasio antara rata-rata pendapatan perkapita dengan angka kemiskinan.



DAFTA PUSTAKA

Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Ditjen Bina Lembaga
Koperasi, Jakarta.

Anonimous, (2003). Grand Strategi Pengembangan Sentra UKM. Kementrian
Koperasi dan UKM RI, Jakarta.

Anonimous, (2003). Pengkajian Dukungan Finansial dan Non Finansial Dalam Pengembangan Sentra bisnis Usaha Kecil dan Menengah. Kerjasama Kementrian Koperasi dan UKM dengan BPS, Jakarta.
Anonimus, (2007). Statistik Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Yudhoyono S. B., (2004). Terapkan Ekonomi Terbuka. Bisnis Indonesia. Kamis
21 Oktober 2004.

Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat, (1995). Instruksi Presiden Republik Indonesia            No.                   4        Tahun        1995   TentanGerakan   Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.

McGrath, Rita Gunther, Ian C. MacMillan, Sari Scheinberg, (1993), “Elitist, Risk- takers, and Rugged Individualsts? An Explatory Analysis of Cultural Dofferences Between Antrepreneurs and Non-Entrepreneurs”. Journal of Business Venturing, 7(2).

……………., (2004). Pedoman Penumbuhan dan Pengembagan Sentra Usaha
Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.









Nama   : Rizky Amelya
              Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM   : 26212592
              27212517

Kelas   : 2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar