REVIEW
Strategi
Koperasi Dalam Menghadapin Iklim Usaha yang Kurang Kondusif
Slamet Subandi
INFOKOP
VOLUME 16-SEPTEMBER 2008: 102-119
III. Strategi
Pengembangan Koperasi
Tidaklah
terlalu mengherankan bila meskipun berbagai permasalahan yang sejak beberapa
tahun lalu telah dirasakan menjadi gangguan bagi ekonomi rakyat, namun sampai
saat inipun masalah tersebut belum teratasi. Hal tersebut dikarenakan antara
lain masih terbatasnya kemampuan koperasi untuk mengakses pada sumber modal,
teknologi, pasar, informasi bisnis, rendahnya kuwalitas, kelembagaan, manajemen
dan organisasi KUMKM.
Sementara
itu tantangan lain yang tidak kalah pentingnya yang juga menghadang ekonomi
rakyat adalah kemampuan dan kesanggupannya untuk berpotensi secara lebih
produktif dan lebih efisien sebagai wujud pelaku ekonomi yang berkeunggulan
kompetitif dalam menghadapi era globalisasi. Ancaman besar yang juga tengah
dihadapi oleh ekonomi rakyat adalah persaingan
yang
semakin tajam, tidak saja atas produk barang dan jasa dari para pelaku ekonomi
di dalam negeri sendiri, tetapi juga masuknya produk-produk luar negeri yang
sebenarnya sudah dapat diproduksi oleh ekonomi rakyat di tanah air yang
tergelar bebas di pasar domestik, serta derasnya jaringan institusi bisnis
internasional menerobos masuk ke tengah tengah masyarakat, termasuk keberadaan
pasar- pasar modern yang merupakan hyper market. Sementara itu hambatan besar
yang dihadapi ekonomi rakyat untuk tetap dapat bertahan, maju dan berkembang
adalah tingkat kepedulian, keberpihakan, komitmen dari para pemimpin bangsa,
para pengemban kekuasaan, para pihak terkait, para pemangku kepentingan yang
tercermin tidak konsisten dan istiqomah.
Melihat
kondisi perkoperasian di tanah air dewasa ini, sebagaimana diungkap dan
disebutkan dengan jelas dalam dokumen RPJM Nasional tahun 2004-2009, bahwa “
…Banyak koperasi yang terbentuk tanpa didasari adanya kebutuhan/kepentingan ekonomi bersama dan prinsip
kesukarelaan dari para anggota sehingga kehilangan jati dirinya sebagai
koperasi yang otonom dan swadaya dan mandiri …………”
Koperasi
masih dijadikan oleh segelintir orang/kelompok, baik di luar maupun di dalam
gerakan koperasi itu sendiri, untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau
golongannya, yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan
anggota koperasi yang bersangkutan dan nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip
koperasi”, maka l,angkah pemurnian hendaknya dapat dilakukan dengan segera oleh
semua pihak yang terkait dan para pemangku kepentingan, terutama kalangan
gerakan koperasi sendiri secara serentak dan simultan. Bahkan bila perlu
langkah tersebut dinyatakan sebagai gerakan nasional. Nampaknya semua jurus
reformasi tersebut di atas, baik yang berupa langkah restorasi, rekonstruksi,
konsolidasi, revitalisasi maupun regenuinisasi atau langkah pemurnian, harus
dilakukan secara menyeluruh kepada semua koperasi dengan tetap memperhatikan dan melakukan penyesuaian
dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan mendatang.
Dalam
kaitan ini, maka urgensi melahirkan, menumbuh kembangkan dan memerankan
kembali kader-kader koperasi, menjadi
sangat relevan dan urgen untuk digarap kembali secara lebih sistemik dan
komperehensif.
Pengefektifan
mata pelajaran atau mata kuliah koperasi di lembaga-lembaga pendidikan, keberadaan lembaga-lembaga semacam Sekolah
Koperasi Menengah Atas (Skopma), Akademi Koperasi (Akop), Institut Manajemen
Koperasi (Ikopin), serta intensitas dan ekstensitas diklat dan penyuluhan
koperasi, kiranya akan dapat memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi
upaya tersebut.
Menurut
Mutis (1999) untuk memberdayakan wirausaha dengan skala usaha kecil, menengah,
dan koperasi ataupun kalangan usaha di sektor informal adalah salah satu bentuk
menerjemahkan visi kerakyatan dalam fraxis bisnis kekinian.
Jenis
agroindustri merupakan keputusan yang paling menentukan keberhasilan dan
berkelanjutan agroindustri yang akan dibangun atau dikembangkan. Menurut UU
Nomor 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian,
Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan
badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip
koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar pada atas asas
kekeluargaan.
Perlu
dikemukakan bahwa lembaga koperasi dalam konteks ini bukan semata mata amanat
Pasal 33 UUD 1945 normatif, melainkan yang Iebih hakiki adalah bahwa koperasi
dalam
berbagai
hal mempunyai keunggulan dibandingkan lembaga ekonomi lainnya, terutama pada
agrobisnis agroindustri dan pembangunan ekonomi pedesaan (position). Demikian
juga lembaga koperasi bukan satu satunya pilihan dalam mengembangkan
agroindustri di Indonesia, melainkan suatu kelebihan yang cukup penting dan
sangat besar artinya dalam mengembangkan kelembagaan koperasi, karena petani
yang juga anggota koperasi selain sebagai anggota juga sebagai pemilik (owners)
dan sekaligus sebagai pemakai (users).
Dari
berbagai uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dampak antara dari kedua
kondisi tersebut adalah iklim usaha koperasi yang tidak mudah untuk dapat
dieliminir oleh kalangan UMKM sendiri. Akibatnya usaha koperasi tidak pernah
mencapai titik marginal produktivity. Dengan perkataan produktifitas koperasi
selalu berada dibawah nilai harapan produktifitas yang sesuai dengan
potensi yang dimilikinya.
Tidak
kondusifnya iklim usaha koperasi yang mempengaruhi produktifitas koperasi dapat
dilihat dari berbagai aspek kegiatan usaha UMKM sebagai berikut :
1)
Rendahnya kualitas SDM
Disamping
kajian dari aspek pendapatan juga perlu diperhatikan kondisi SDM usaha mikro
dan usaha kecil dari aspek pengalaman, pengetahuan dan pendidikan mereka. Hasil
pengamatan Suhartoyo di Kabupaten Tasikmalaya (IPB 2004), seperti
memperlihatkan bahwa rata-rata pengalaman pengelola koperasi dibidang usaha
yang ditekuninya relatif cukup baik, tetapi dari aspek pendidikan dan
pengetahuan tentang inovasi dibidang produksi dan pengembangan teknologi serta,
dibidang manajemen usaha dan pemasaran relatif rendah.
2)
Kesulitan untuk mengembangkan permodalan
Rata-rata
pemilikan modal koperasi dari tahun ke tahun pada indeks harga tetap relatif
rendah yaitu 114.231.647. Demikian juga pertumbuhan modal mereka tidak banyak
berubah, kalaupun ada kecenderungan sedikit meningkat hal tersebut lebih
disebabkan oleh adanya inflasi. Kondisi yang demikian nampaknya sangat wajar
karena pendapatan yang diperoleh koperasi belum mencukupi untuk memenuhi
kebutuhan hidup keluarga mereka. Kecil
sekali peluang bagi kelompok ini untuk menabung yang dapat digunakan untuk
menambah modal atau meningkatkan investasinya.
3)
Rendahnya kualitas teknologi
Hasil
kajian Kementerian Negara Koperasi dan UKM tahun 2005 terhadap
27
koperasi contoh di 4 propinsi contoh menginformasikan bahwa nilai bobot
rata-rata teknologi produksi yang digunakan oleh koperasi baru mencapai nilai
1,67 atau tergolong dalam kelompok pengguna teknologi tradisional. Lebih lanjut
dikatakan pengembangan teknologi produksi dari produk-produk yang dihasilkan
koperasi belum dapat meningkatkan produkfitas dan memperbaiki kualitas produk.
4)
Kelemahan akses terhadap Pasar
Kesulitan
koperasi dalam membangun akses pasar lebih disebabkan oleh adanya beberapa
faktor yang belum dapat dieliminasi terutama yang berkaitan dengan informasi.
Tetapi kendala tersebut bukanlah harga mati, karena banyak variabel-variabel
pemasaran produk koperasi yang dapat diandalkan seperti rendahnya harga jual
produk koperasi yang menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan di pasar
internasional. Rendahnya eksistensi koperasi dalam penguasaan pasar memang
lebih terlihat sebagai dampak dari kondisi pasar yang tidak kondusif. Namun
sesungguhnya kondisi pasar yang demikian merupakan indikator dari adanya
masalah pokok yang tidak terlihat secara nyata, yaitu sistem pemasaran yang
dikuasai oleh komponen sistem yang lebih kuat, sehingga koperasi selalu hanya
berperan sebagai Price Taker (penerima harga). Dengan mengembangkan kemampuan
menangkap informasi, maka diharapkan dominansi komponen lainnya (para pedagang
besar dan eksportir) yang memiliki bargaining lebih kuat, yang selama ini
berperan sebagai price maker (pembuat harga) akan dapat dipatahkan.
Besarnya
minat pasar internasional terhadap produk-produk koperasi di Indonesia menurut
Wachidin (2001), terlihat di beberapa negara terutama di daerah Afrika dan di
negara-negara Arab. Sebagian konsumen yang mengkosumsi produk-produk koperasi
dari Indonesia ternyata tidak mengetahui bahwa barang yang mereka beli adalah
produk dari koperasi di Indonesia.
Untuk
mengatasi masalah tersebut, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah
mengenalkan produk-produk koperasi tersebut dengan lebih mengembangkan jaringan
pasar dan atau mengintensifkan kegiatan promosi. Kedua kegiatan tersebut belum
sepenuhnya dapat dilakukan oleh koperasi karena keterbatasan yang ada
dikalangan mereka antara lain, a) sebagian besar usaha mikro dan usaha kecil belum
memiliki izin usaha, b) rendahnya pengetahuan tentang informasi pasar dan
terbatasnya dana untuk melakukan kegiatan-kegiatan diluar kegiatan produksi.
Hal ini tentu saja menjadi dasar pemikiran tentang perlunya peranan pemerintah
untuk terlibat langsung dalam mengembangkan sistem pemasaran bagi koperasi.
Tetapi pemikiran tersebut juga terbentur pada berbagai masalah struktural yang
bermuara pada komitmen banyak pihak tentang perlunya memberdayakan koperasi
dalam rangka membangun perekonomian nasional yang bercorak kerakyatan.
Organisasi
koperasi dibentuk atas dasar kepentingan dan kesepakatan anggota pendirinya dan
mempunyai tujuan utama untuk lebih mensejahterakan anggotanya. Sistem
kontribusi insentif sangat relevan dalam suatu organisasi koperasi. Sistem
tersebut dapat menjamin eksistensi koperasi dan sekaligus merangsang anggota
untuk lebih berpartisipasi secara aktif. Dalam pembicaraan mengenai organisasi
di masyarakat, khususnya di daerah perdesaan, kiranya lebih dulu perlu dipahami
bahwa basis terendah dalam kehidupan pedesaan adalah “desa”, atau kampung,
dusun dusun kecil yang penduduknya hidup berkelompok dengan
keterikatan/ketergantungan antar individu yang sangat erat. Komunitas penduduk
berlangsung dalam rangka membangun kehidupan yang pada awalnya bersifat
subsistem. Meskipun demikian (pola hidup subsistem), kaitan pemasaran sudah ada
dengan daerah urban yang lebih modern. Dalam hal ini, yang dikenal sebagai
pedesaan adalah kumpulan rumah tangga petani yang secara tradisional mengambil
keputusan keputusan produksi, konsumsi, dan investasi. Di sektor perkotaan
kegiatan yang sama dilakukan oleh lembaga perusahaan dan rumah tangga secara
terpisah dengan tujuan memaksimumkan penghasilan perusahaan.
Hayami
(1981) menguraikan bahwa faktor kegiatan kolektif/kerja sarana kolektif
(colective action sangat penting untuk diorganisir terhadap pemanfaatan aset
masyarakat). Petani secara individu sebagai unit produksi terkecil sulit untuk
memperbesar keluarannya karena produksi agraris dihadapkan pada kendala proses
biologi yang dipengaruhi oleh unsur ekologis, perlu bekerjasama. Penggunaan
aset masyarakat (public goods) seperti pemanfaatan air sungai, secara fisik dan
kelembagaan dalam kaitan kerja sama kolektif memungkinkan petani untuk
membangun dan memelihara social overhead capital, yang tidak saja mengurangi
ketergantungan pada faktor alam, tetapi menghindarkan mereka dari konflik
konflik sosial.
Hal
lain yang patut dipertimbangkan mengenai kebutuhan kerja sama kolektif
ditunjukkan oleh permintaan terhadap tenaga kerja. Pada musim panen permintaan
tenaga kerja meningkat pesat dan di musim tertentu menurun drastis. Jadi,
variasi musim sangat menentukan dan kegotong royongan masyarakat menjadi faktor
penting guna mengatasi ketidakpastian tingkat produksi. Seringkali semangat
gotong royong masyarakat diperlukan dalam kaitan pengalihan tenaga kerja,
umpamanya penggantian tenaga kerja manusia dengan hewan dan mesin mesin
(seperti traktor) guna meningkatkan produktivitas, yang bila tidak dilandasi
jiwa kebersamaan tadi berbagai konflik kepentingan bisa muncul menjadi
persoalan baru.
Sebagai
contohnya dalam melakukan usaha, petani untuk menaikkan pendapatan keluarga dan
faktor konsumsi keluarganya (melalui peningkatan produksi usaha taninya).
Inilah, mereka banyak mengadakan kontak dengan dunia luar, terutama dalam
memenuhi kebutuhan sarana produksi. Penggunaan faktor produksi sedikit banyak
ditentukan oleh ketentuan adat istiadat melalui lembaga tradisional seperti
sistem Mapalus di Sulawesi dan melalui kelompok tani. Dengan berorganisasi ini,
koordinasi pemanfaatan sumberdaya yang langka bisa dinikmati oleh petani petani
individu. Dengan demikian apa yang tampak dalam kehidupan ekonomi para petani
adalah hubungan kekerabatan itu sangat erat dan berpengaruh besar, sebab mereka
hidup di lokasi yang sama sehingga mendorong para petani bekerja sama untuk
mempertahankan kehidupan.
IV. Penutup
Dengan
memperhatikan berbagai karakter dan potensi koperasi terutama dalam hal
ketahanannya menghadapi kondisi perekonomian nasional yang belum berpihak
kepada kelopok miskin maka sudah sepatutnya koperasi lebih diberdayakan.
Kepentingan pemberdayaan koperasi terkait dengan penggunaan modal, penggunaan
bahan baku lokal, serta kemampuan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu maka
dalam rangka mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan pemberdayaan
koperasi menjadi salah satu opsi yang perlu diperhitungkan. Dari pemikiran yang
demikian idealnya pendekatan pembangunan sekarang ini diarahkan pada usaha
mempercepat proses pemberdayaan koperasi. Untuk mengimplementasikan konsepsi
tersebut dalam bentuk program-program nyata diperlukan adanya komitmen politik
yang kuat dari semua kalangan, dengan menghilangkan terlebih dahulu kepentingan
politis, kelompok, maupun kedaerahan. Langkah kearah ini memerlukan kemampuan
untuk memberikan keyakinan kepada para pengambil keputusan agar lebih berpihak
kepada koperasi sebagai lembaga perekonomian rakyat. Namun demikian, sejauh
tidak adanya proses komunikasi politik yang langsung dibangun dan ditumbuhkan
oleh para pengambil kebijakan di pusat dan di daerah yang berdedikasi untuk
memberdayakan koperasi, maka mustahil bagi koperasi untuk dapat berdiri sejajar
dengan perusahaan besar. Sejalan dengan keinginan diatas perlu diperhatikan
bahwa empat sektor utama yang menjadi basis usaha koperasi sekarang ini adalah
sektor pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Keempat sektor tersebut
dalam menghadapi pasar global yang sangat kompetitif terutama dua sektor yang
sangat krusial adalah Industri dan perdagangan. Kedua sektor ini menjadi begitu
penting karena dalam era globalisasi mendatang tantangan berat yang dihadapi
adalah merubah orientasi pembangunan, dari orientasi pemenuhan kebutuhan dalam
negeri ke usaha menghadapi persaingan pasar. Dalam kondisi yang demikian
ternyata iklim usaha di dalam negeripun belum mendukung pemberdayaan koperasi.
Hal ini di indikasikan dari sulitnya menperoleh pinjaman modal dan mendapatkan
peluang usaha pada kegiatan bisnis tertentu seperti dalam penyaluran pupuk dan
sembako.
Secara
umum dapat dikatakan bahwa gambaran kondisi iklim usaha koperasi pada saat ini,
dilihat dari peluang pemberdayaan UMKM dari waktu ke waktu, tempat ke tempat,
dan sektor ke sektor belum mengindikasikan besarnya harapan pada kelompok usaha
tersebut untuk pendukung tumbuhnya sistem perekonomian yang berkeadilan.
Pemberdayaan koperasi memang sudah menjadi komitmen nasional dalam rangka
mewujudkan keadilan pembangunan, karena koperasi memiliki potensi yang sangat
besar untuk mendukung pemerataan pembangunan baik antar sektor, antara golongan
maupun antar daerah. Kondisi iklim usaha yang diwarnai oleh masalah-masalah
seperti dikemukakan diatas, tetap belum mampu untuk menjadikan koperasi sebagai
basis pembangunan daerah yang sekaligus mendukung keberhasilan pembangunan
nasional. Dampak dari adanya permasalahan tersebut terlihat nyata dalam bentuk,
a) Rendahnya produktifitas koperasi yang berdampak pada timbulnya kesenjangan
antara koperasi dengan usaha besar, b)Terbatasnya akses koperasi kepada
sumberdaya produktif seperti permodalan teknologi dan pasar dan, c)
Marjinalisasi dari kelompok ini baik dari aspek skala usaha, teknologi,
informasi dan pendapatan mereka.
Ketiga
dampak masalah yang mewarnai proses pemberdayaan koperasi tersebut pada
hakekatnya merupakan dampak dari kebijakan makro ekonomi yang merupakan
derivasi dari sistem perekonomian yang selama lebih dari empat puluh tahun
mendewakan pertumbuhan.
Konsepsi
perekonomian yang dimotori oleh kelompok pengusaha besar tersebut mencerminkan
kepercayaan dari para pengambil kebijakan terhadap mekanisme pasar yang dapat
mendistribusikan marjin secara proporsional diantara komponen-komponen sistem
dalam sistem perekonomian liberal. Pemikiran Adam Smit yang mengilhami
pengikut- pengikutnya dan dimordernisir oleh Schumpeter (1934) ini ternyata
masih menjadi phobia bagi sebagian besar negara berkembang (termasuk Indonesia)
dalam merancang sistem perekonomiannya.
Kepercayaan yang berlebihan pada paham ekonomi neoklasik yang sekarang
telah berubah menjadi ultraneoklasik, tidak saja telah melahirkan konglomerasi
tetapi juga telah membangun situasi perekonomian yang diwarnai berbagai
ketimpangan yang antara lain adalah memburuknya iklim usaha bagi koperasi. Hal
yang demikian juga terindikasi dari sangat tidak wajarnya rasio antara
rata-rata pendapatan perkapita dengan angka kemiskinan.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian. Departemen
Koperasi, Ditjen Bina Lembaga
Koperasi, Jakarta.
Anonimous, (2003). Grand Strategi Pengembangan Sentra UKM. Kementrian
Koperasi dan UKM RI, Jakarta.
Anonimous, (2003). Pengkajian Dukungan Finansial
dan Non
Finansial Dalam Pengembangan Sentra bisnis
Usaha Kecil dan Menengah. Kerjasama
Kementrian Koperasi dan UKM dengan BPS, Jakarta.
Anonimus, (2007). Statistik
Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Yudhoyono S. B., (2004). Terapkan Ekonomi Terbuka. Bisnis Indonesia. Kamis
21 Oktober 2004.
Kewirausahaan
Indonesia dengan Semangat, (1995). Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1995 Tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.
McGrath,
Rita Gunther, Ian C.
MacMillan, Sari Scheinberg,
(1993), “Elitist, Risk- takers,
and Rugged
Individualsts? An Explatory
Analysis of Cultural Dofferences Between Antrepreneurs and Non-Entrepreneurs”. Journal
of Business Venturing,
7(2).
……………., (2004). Pedoman Penumbuhan dan Pengembagan Sentra Usaha
Kecil dan Menengah. Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.
Nama : Rizky
Amelya
Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM : 26212592
27212517
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar