Minggu, 29 Desember 2013

Review Jurnal

REVIEW
Strategi Koperasi Dalam Menghadapin Iklim Usaha yang Kurang Kondusif

Slamet Subandi

INFOKOP VOLUME 16-SEPTEMBER 2008: 102-119

II. Perubahan Kondisi Perekonomian dan Pembangunan Koperasi
Masalah pembangunan koperasi selama era kemerdekaan masih terjebak dalam persoalan-persoalan klasik seperti lemahnya partisipasi anggota, dan rendahnya akses koperasi terhadap sumber permodalan, pasar dan teknologi. Dari sini timbul pertanyaannya “apa sebenarnya yang telah mampu diperbuat oleh para pembina koperasi selama sudah lebih dari 60 tahun?”. Memang dari masa kemasa perkembangan koperasi berfluktuatif. Pada era orde lama sebenarnya banyak koperasi yang bagus-bagus atau koperasi-koperasi yang dapat melaksanakan berbagai ragam usahanya untuk kepentingan pelayanan bagi anggotanya. Koperasi-koperasi seperti ini pada waktu itu banyak terlihat di Kabupaten Tasik malaya, Pekalongan, Cilacap dan Purwokerto. Pada masa orde baru, koperasi seperti itu kebanyakan sulit dijumpai lagi, padahal frekuensi pembinaan terhadap koperasi pada masa itu dilakukan sedemikian intensif. Yang menjadi pertanyaan adalah “bagaimana bisa terjadi kondisi seperti itu?”. Disini perlu diperhatikan kembali anatomi koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibangun oleh anggotanya, dimiliki oleh anggota dan bekerja untuk kepentingan anggota. Konsepsi seperti ini jelas tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 1967, tetapi jiwa dari prinsip dasar koperasi tersebut tidak terlihat jelas  pada UU Nomor 25 Tahun 1992. Kondisi seperti itu mungkin terkait dengan keinginan pemerintah pada waktu yang menghendaki koperasi dapat segera difungsikan sebagai lembaga penghimpun kekuatan ekonomi rakyat, yang dituntut untuk juga dapat memberikan pelayanan yang lebih luas bagi semua anggota masyarakat (termasuk yang bukan anggota koperasi), sehingga pada waktu itu ada istilah calon anggota dan anggota yang dilayani.
Dari aspek eksternal pembinaan koperasi, masalah lemahnya koordinasi dalam rangka pembinaan yang multi sektor merupakan lagu lama yang selalu diperdengarkan kembali dapat disinyalir, hal ini terkait dengan kebijaksanaan dasar pemberdayaan koperasi yang tidak secara tegas membagi tugas pembinaan secara sektoral. Sehingga ada kesan semua instansi sektoral mempunyai peran yang dominan tetapi tanggung jawab terhadap keberhasilannya kurang diperhatikan dan tanggung jawab tersebut akhirnya hanya dilimpahkan ke alamat Departemen/Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Disini terlihat secara lebih jelas peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini masih belum dapat mengakomodir penetapan peran tugas dan tanggung jawab antar instansi. Selama kebijakan dasar tersebut masih mengambang, maka koordinasi antar instansi pembina koperasi tetap akan seperti sekarang ini. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah “bagaimana bentuk kelembagaan instansi pembina yang diharapkan mampu mensinerjikan instansi-instansi sektoral dalam pemberdayaan koperasi?”. Apakah bentuk Badan Koordinasi, Menteri Koordinator atau bentuk-bentuk lainnya.
Dalam era reformasi sekarang ini dengung pembangunan koperasi memang sudah sangat jarang terdengar. Demikian juga kecenderungan koperasi dijadikan kendaraan politik (hidden car for politicians) dari para politisi semakin berkurang. Kecenderungan tersebut masih mungkin akan terjadi selama unsur politik masih mendominasi kebijakan dan peraturan perkoperasian, atau selama pembinaan dari pemerintah masih mendominasi proses pemberdayaan koperasi. Yang menjadi pertanyaan disini adalah kembali pada “apakah pembinaan bagi koperasi masih diperlukan, dan sampai kapan peran pemerintah dapat dikeluarkan dari proses kehidupan koperasi?”. Ini juga merupakan pertanyaan klasik yang tidak pernah dapat terjawab, setelah sekian rezim berkuasa dan dalam waktu pemerintahannya selalu menempatkan koperasi sebagai lembaga ekonomi masyarakat lemah. Dampak akhir yang terlihat adalah kelompok masyarakat lemah tersebut tidak pernah juga dapat diperkuat kondisi dan kedudukannya dalam perekonomian nasional.
Inti permasahan yang dihadapi oleh koperasi sekarang ini adalah ketidakmampuan koperasi untuk menjadi lembaga usaha yang mampu memberikan pelayanan kepada anggotanya dalam menghadapi kondisi perekonomian global yang tidak berpihak kepada kelompok ekonomi lemah. Kelemahan internal koperasi lebih diperburuk lagi dengan kondisi lingkungan yang diciptakan oleh era globalisasi dan kebijakan makro yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak dapat mengembangkan efisiensi atau inovasi dalam berusaha. Efisiensi merupakan fungsi ekonomi yang terkait langsung dengan inovasi teknologi dan kecanggihan manajemen informasi. Koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibentuk oleh para anggotanya yang umumnya terdiri dari UMKM terlihat sulit untuk dapat mengembangkan faktor kunci globalisasi tersebut (efisiensi dan inovasi).
Pertanyaannya kemudian adalah “apakah koperasi tidak memiliki peluang untuk tetap dapat eksis dalam perekonomian nasional yang semakin pekat diwarnai oleh kondisi globalisasi?”. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperhatikan banyak aspek terutama yang berkaitan dengan kendala permasalahan potensi dan peluang koperasi.  Persoalan yang muncul jarang diselesaikan dari akar permasalahannya. Hal ini memang biasa dilakukan oleh orang-orang yang tidak mendalami dengan baik tentang suatu persoalan yang akan diselesaikan. Tetapi adalah naïf jika orang tersebut sebenarnya berada dalam suatu sistem yang menghadapi permasalahan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hal seperti ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab bukan hanya dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman, tetapi yang lebih penting disini perlu dipertimbangkan adalah sejauh mana hati nurani berperan. Hal-hal seperti itu memang sudah berlangsung cukup lama dan tidak pernah mengalami perubahan. Walaupun sudah lebih dari tiga generasi atau orang-orang yang bekerja dilingkungan Departemen /Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Pertanyaan lebih lanjut “adakah cara penyelesaian masalah seperti itu masih akan terus dipertahankan dan sampai kapan?”. Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya tidak dapat diberikan dalam waktu dekat karena disini juga moral dan hati nurani harus ikut berperan.
Kondisi yang terlihat sekarang ini adalah bahwa jangankan anggota koperasi, dikalangan pembina koperasipun sekarang ini masih banyak yang belum mengetahui dengan pasti yang dimaksud dengan asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi. Apalagi setelah era otonomi daerah, banyak kalangan pembina koperasi di daerah yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang koperasi. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya “Hendak kemana diarahkan dan koperasi di bawa?”. Pertanyaan tersebut seharusnya dikeluarkan oleh para pemerhati dan pecinta koperasi, namun syah saja kalau para pembina koperasi sekalipun masih mengemukan pertanyaan yang sama sebagai gejolak nuraninya yang paling dalam. Satu hal yang mungkin dapat diinformasikan adalah bahwa dikalangan pembina di Tingkat Pusatpun, mungkin banyak manusia yang bernama pembina koperasi tetapi tidak memahami sama sekali tentang asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi, karena mereka memang berasal dari lingkungan di luar koperasi. Oleh sebab itu maka wajar-wajar saja bila kebijakan- kebijakan yang diambil tidak relevan dengan kepentingan pemberdayaan koperasi. Yang sangat ironis adalah bahwa kebijakan-kebijakan seperti itulah yang pada akhirnya sering membunuh kreatifitas kalangan yang menginginkan koperasi tumbuh dan berkembang sesuai dengan asas dan prinsip dasarnya.
Hal ini pulalah yang menyebabkan banyak unsur pendukung pemberdayaan koperasi yang terlepas dari akarnya seperti Perum PKK, Bank Bukopin dan PT. PNM.
Persoalan komplementer yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah penyusunan kebijakan dan program-program pembangunan koperasi terkesan bukan untuk jangka panjang dan berkesinambungan (long term and sustainable), tetapi lebih didasarkan kepada selera pejabat. Kondisi seperti ini juga masih merupakan masalah klasik yang sulit untuk diatasi karena kebijakan Kementerian Negara Koperasi dan UKM adalah derivasi dari kebijakan pembangunan nasional. Sedangkan dalam RTJM rencana kegiatan dikemukakan secara normatif yang mungkin hanya dapat dibaca dengan baik oleh kalangan yang mengerti tentang koperasi. Sebaliknya seperti dikemukakan diatas, sebagian kalangan pembina koperasi sendiri cenderung banyak yang belum memahami tentang koperasi baik dari aspek asas dan prinsip-prinsip dasarnya, maupun dari aspek persoalan kehidupan koperasi di lapangan yang secara langsung dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dinamis. Sama halnya dengan UMKM yang lain, permasalahan eksternal yang paling mendasar yang dihadapi oleh koperasi ekonomi rakyat adalah masalah iklim usaha. Belum membaiknya iklim usaha di lingkungan koperasi antara lain diindikasikan dari kesulitan koperasi untuk mengembangkan permodalan, teknologi produksi, pemasaran dan informasi. Kesemua kesulitan tersebut berpangkal dari adanya berbagai kondisi baik yang terbentuk secara alami sebagai derivasi dari sistem perekonomian yang dilaksanakan, maupun yang timbul dari berbagai peraturan perundang-undangan  pengembangan.  Oleh karenanya dukungan iklim usaha yang kondusif bagi terbukanya peluang untuk berbisnis dan mengembangkan bisnis sangat diperlukan bagi UMKM.
Sementara dewasa ini banyak sekali pihak-pihak yang secara oratoris menyatakan kepedulian, keberpihakan dan komitmennya yang kuat pada ekonomi rakyat tetapi pada kenyataannya dari sisi kebijakan operasionalnya masih banyak pula  peraturan perundangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota yang justru menjadi penghalang bagi ekonomi rakyat untuk dapat maju dan berkembang.



DAFTA PUSTAKA

Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Ditjen Bina Lembaga
Koperasi, Jakarta.

Anonimous, (2003). Grand Strategi Pengembangan Sentra UKM. Kementrian
Koperasi dan UKM RI, Jakarta.

Anonimous, (2003). Pengkajian Dukungan Finansial dan Non Finansial Dalam Pengembangan Sentra bisnis Usaha Kecil dan Menengah. Kerjasama Kementrian Koperasi dan UKM dengan BPS, Jakarta.
Anonimus, (2007). Statistik Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Yudhoyono S. B., (2004). Terapkan Ekonomi Terbuka. Bisnis Indonesia. Kamis
21 Oktober 2004.

Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat, (1995). Instruksi Presiden Republik Indonesia            No.                   4        Tahun        1995   TentanGerakan   Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.

McGrath, Rita Gunther, Ian C. MacMillan, Sari Scheinberg, (1993), “Elitist, Risk- takers, and Rugged Individualsts? An Explatory Analysis of Cultural Dofferences Between Antrepreneurs and Non-Entrepreneurs”. Journal of Business Venturing, 7(2).

……………., (2004). Pedoman Penumbuhan dan Pengembagan Sentra Usaha
Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.
















Nama  : Rachmah Meylandari
             Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM : 25212821    
           27212517          

Kelas : 2EB09

Tidak ada komentar:

Posting Komentar