REVIEW
Strategi
Koperasi Dalam Menghadapin Iklim Usaha yang Kurang Kondusif
Slamet Subandi
INFOKOP
VOLUME 16-SEPTEMBER 2008: 102-119
II. Perubahan Kondisi Perekonomian
dan Pembangunan Koperasi
Masalah
pembangunan koperasi selama era kemerdekaan masih terjebak dalam
persoalan-persoalan klasik seperti lemahnya partisipasi anggota, dan rendahnya
akses koperasi terhadap sumber permodalan, pasar dan teknologi. Dari sini
timbul pertanyaannya “apa sebenarnya yang telah mampu diperbuat oleh para
pembina koperasi selama sudah lebih dari 60 tahun?”. Memang dari masa kemasa
perkembangan koperasi berfluktuatif. Pada era orde lama sebenarnya banyak
koperasi yang bagus-bagus atau koperasi-koperasi yang dapat melaksanakan
berbagai ragam usahanya untuk kepentingan pelayanan bagi anggotanya.
Koperasi-koperasi seperti ini pada waktu itu banyak terlihat di Kabupaten Tasik
malaya, Pekalongan, Cilacap dan Purwokerto. Pada masa orde baru, koperasi
seperti itu kebanyakan sulit dijumpai lagi, padahal frekuensi pembinaan terhadap
koperasi pada masa itu dilakukan sedemikian intensif. Yang menjadi pertanyaan
adalah “bagaimana bisa terjadi kondisi seperti itu?”. Disini perlu diperhatikan
kembali anatomi koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibangun oleh
anggotanya, dimiliki oleh anggota dan bekerja untuk kepentingan anggota.
Konsepsi seperti ini jelas tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 1967, tetapi jiwa
dari prinsip dasar koperasi tersebut tidak terlihat jelas pada UU Nomor 25 Tahun 1992. Kondisi seperti
itu mungkin terkait dengan keinginan pemerintah pada waktu yang menghendaki
koperasi dapat segera difungsikan sebagai lembaga penghimpun kekuatan ekonomi
rakyat, yang dituntut untuk juga dapat memberikan pelayanan yang lebih luas
bagi semua anggota masyarakat (termasuk yang bukan anggota koperasi), sehingga
pada waktu itu ada istilah calon anggota dan anggota yang dilayani.
Dari
aspek eksternal pembinaan koperasi, masalah lemahnya koordinasi dalam rangka
pembinaan yang multi sektor merupakan lagu lama yang selalu diperdengarkan
kembali dapat disinyalir, hal ini terkait dengan kebijaksanaan dasar
pemberdayaan koperasi yang tidak secara tegas membagi tugas pembinaan secara
sektoral. Sehingga ada kesan semua instansi sektoral mempunyai peran yang
dominan tetapi tanggung jawab terhadap keberhasilannya kurang diperhatikan dan
tanggung jawab tersebut akhirnya hanya dilimpahkan ke alamat
Departemen/Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Disini
terlihat secara lebih jelas peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang
ini masih belum dapat mengakomodir penetapan peran tugas dan tanggung jawab
antar instansi. Selama kebijakan dasar tersebut masih mengambang, maka
koordinasi antar instansi pembina koperasi tetap akan seperti sekarang ini.
Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah “bagaimana bentuk kelembagaan
instansi pembina yang diharapkan mampu mensinerjikan instansi-instansi sektoral
dalam pemberdayaan koperasi?”. Apakah bentuk Badan Koordinasi, Menteri
Koordinator atau bentuk-bentuk lainnya.
Dalam
era reformasi sekarang ini dengung pembangunan koperasi memang sudah sangat
jarang terdengar. Demikian juga kecenderungan koperasi dijadikan kendaraan
politik (hidden car for politicians) dari para politisi semakin berkurang.
Kecenderungan tersebut masih mungkin akan terjadi selama unsur politik masih
mendominasi kebijakan dan peraturan perkoperasian, atau selama pembinaan dari
pemerintah masih mendominasi proses pemberdayaan koperasi. Yang menjadi
pertanyaan disini adalah kembali pada “apakah pembinaan bagi koperasi masih
diperlukan, dan sampai kapan peran pemerintah dapat dikeluarkan dari proses
kehidupan koperasi?”. Ini juga merupakan pertanyaan klasik yang tidak pernah
dapat terjawab, setelah sekian rezim berkuasa dan dalam waktu pemerintahannya
selalu menempatkan koperasi sebagai lembaga ekonomi masyarakat lemah. Dampak
akhir yang terlihat adalah kelompok masyarakat lemah tersebut tidak pernah juga
dapat diperkuat kondisi dan kedudukannya dalam perekonomian nasional.
Inti
permasahan yang dihadapi oleh koperasi sekarang ini adalah ketidakmampuan koperasi
untuk menjadi lembaga usaha yang mampu memberikan pelayanan kepada anggotanya
dalam menghadapi kondisi perekonomian global yang tidak berpihak kepada
kelompok ekonomi lemah. Kelemahan internal koperasi lebih diperburuk lagi
dengan kondisi lingkungan yang diciptakan oleh era globalisasi dan kebijakan
makro yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak dapat
mengembangkan efisiensi atau inovasi dalam berusaha. Efisiensi merupakan fungsi
ekonomi yang terkait langsung dengan inovasi teknologi dan kecanggihan
manajemen informasi. Koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibentuk oleh
para anggotanya yang umumnya terdiri dari UMKM terlihat sulit untuk dapat
mengembangkan faktor kunci globalisasi tersebut (efisiensi dan inovasi).
Pertanyaannya
kemudian adalah “apakah koperasi tidak memiliki peluang untuk tetap dapat eksis
dalam perekonomian nasional yang semakin pekat diwarnai oleh kondisi
globalisasi?”. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperhatikan banyak aspek
terutama yang berkaitan dengan kendala permasalahan potensi dan peluang
koperasi. Persoalan yang muncul jarang
diselesaikan dari akar permasalahannya. Hal ini memang biasa dilakukan oleh
orang-orang yang tidak mendalami dengan baik tentang suatu persoalan yang akan
diselesaikan. Tetapi adalah naïf jika orang tersebut sebenarnya berada dalam
suatu sistem yang menghadapi permasalahan dalam jangka waktu yang cukup
panjang. Hal seperti ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab
bukan hanya dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman, tetapi yang lebih penting
disini perlu dipertimbangkan adalah sejauh mana hati nurani berperan. Hal-hal
seperti itu memang sudah berlangsung cukup lama dan tidak pernah mengalami
perubahan. Walaupun sudah lebih dari tiga generasi atau orang-orang yang bekerja
dilingkungan Departemen /Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Pertanyaan lebih
lanjut “adakah cara penyelesaian masalah seperti itu masih akan terus
dipertahankan dan sampai kapan?”. Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya
tidak dapat diberikan dalam waktu dekat karena disini juga moral dan hati
nurani harus ikut berperan.
Kondisi
yang terlihat sekarang ini adalah bahwa jangankan anggota koperasi, dikalangan
pembina koperasipun sekarang ini masih banyak yang belum mengetahui dengan
pasti yang dimaksud dengan asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi. Apalagi
setelah era otonomi daerah, banyak kalangan pembina koperasi di daerah yang
sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang koperasi. Yang menjadi
pertanyaan selanjutnya “Hendak kemana diarahkan dan koperasi di bawa?”.
Pertanyaan tersebut seharusnya dikeluarkan oleh para pemerhati dan pecinta
koperasi, namun syah saja kalau para pembina koperasi sekalipun masih
mengemukan pertanyaan yang sama sebagai gejolak nuraninya yang paling dalam.
Satu hal yang mungkin dapat diinformasikan adalah bahwa dikalangan pembina di
Tingkat Pusatpun, mungkin banyak manusia yang bernama pembina koperasi tetapi
tidak memahami sama sekali tentang asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi,
karena mereka memang berasal dari lingkungan di luar koperasi. Oleh sebab itu
maka wajar-wajar saja bila kebijakan- kebijakan yang diambil tidak relevan
dengan kepentingan pemberdayaan koperasi. Yang sangat ironis adalah bahwa
kebijakan-kebijakan seperti itulah yang pada akhirnya sering membunuh
kreatifitas kalangan yang menginginkan koperasi tumbuh dan berkembang sesuai
dengan asas dan prinsip dasarnya.
Hal
ini pulalah yang menyebabkan banyak unsur pendukung pemberdayaan koperasi yang
terlepas dari akarnya seperti Perum PKK, Bank Bukopin dan PT. PNM.
Persoalan
komplementer yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah penyusunan
kebijakan dan program-program pembangunan koperasi terkesan bukan untuk jangka
panjang dan berkesinambungan (long term and sustainable), tetapi lebih
didasarkan kepada selera pejabat. Kondisi seperti ini juga masih merupakan
masalah klasik yang sulit untuk diatasi karena kebijakan Kementerian Negara
Koperasi dan UKM adalah derivasi dari kebijakan pembangunan nasional. Sedangkan
dalam RTJM rencana kegiatan dikemukakan secara normatif yang mungkin hanya
dapat dibaca dengan baik oleh kalangan yang mengerti tentang koperasi.
Sebaliknya seperti dikemukakan diatas, sebagian kalangan pembina koperasi
sendiri cenderung banyak yang belum memahami tentang koperasi baik dari aspek
asas dan prinsip-prinsip dasarnya, maupun dari aspek persoalan kehidupan
koperasi di lapangan yang secara langsung dipengaruhi oleh faktor lingkungan
yang dinamis. Sama halnya dengan UMKM yang lain, permasalahan eksternal yang
paling mendasar yang dihadapi oleh koperasi ekonomi rakyat adalah masalah iklim
usaha. Belum membaiknya iklim usaha di lingkungan koperasi antara lain
diindikasikan dari kesulitan koperasi untuk mengembangkan permodalan, teknologi
produksi, pemasaran dan informasi. Kesemua kesulitan tersebut berpangkal dari
adanya berbagai kondisi baik yang terbentuk secara alami sebagai derivasi dari
sistem perekonomian yang dilaksanakan, maupun yang timbul dari berbagai
peraturan perundang-undangan pengembangan. Oleh karenanya dukungan iklim usaha yang
kondusif bagi terbukanya peluang untuk berbisnis dan mengembangkan bisnis
sangat diperlukan bagi UMKM.
Sementara
dewasa ini banyak sekali pihak-pihak yang secara oratoris menyatakan
kepedulian, keberpihakan dan komitmennya yang kuat pada ekonomi rakyat tetapi
pada kenyataannya dari sisi kebijakan operasionalnya masih banyak pula peraturan perundangan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota yang justru menjadi penghalang
bagi ekonomi rakyat untuk dapat maju dan berkembang.
DAFTAR
PUSTAKA
Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian. Departemen
Koperasi, Ditjen Bina Lembaga
Koperasi, Jakarta.
Anonimous, (2003). Grand Strategi Pengembangan Sentra UKM. Kementrian
Koperasi dan UKM RI, Jakarta.
Anonimous, (2003). Pengkajian Dukungan Finansial
dan Non
Finansial Dalam Pengembangan Sentra bisnis
Usaha Kecil dan Menengah. Kerjasama
Kementrian Koperasi dan UKM dengan BPS, Jakarta.
Anonimus, (2007). Statistik
Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Yudhoyono S. B., (2004). Terapkan Ekonomi Terbuka. Bisnis Indonesia. Kamis
21 Oktober 2004.
Kewirausahaan
Indonesia dengan Semangat, (1995). Instruksi Presiden Republik Indonesia No. 4 Tahun 1995 Tentang Gerakan Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.
McGrath,
Rita Gunther, Ian C.
MacMillan, Sari Scheinberg,
(1993), “Elitist, Risk- takers,
and Rugged
Individualsts? An Explatory
Analysis of Cultural Dofferences Between Antrepreneurs and Non-Entrepreneurs”. Journal
of Business Venturing,
7(2).
……………., (2004). Pedoman Penumbuhan dan Pengembagan Sentra Usaha
Kecil dan Menengah. Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.
Nama :
Rachmah Meylandari
Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM : 25212821
27212517
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar