Reviem Jurnal
STRATEGI KOPERASI
DALAM MENGHADAPI
IKLIM USAHA YANG KURANG KONDUSIF
Slamet Subandi
Kasubid
perencanaan dan penelitipada deputi bidang pengkajian sumberdaya UKMK
INFOKOP VOLUME 16 - SEPTEMBER 2008 :
102-125
Abstrak
Permasalahan eksternal yang
paling mendasar yang dihadapi oleh koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat
adalah masalah iklim usaha. Belum membaiknya iklim usaha dilingkungan koperasi
antara lain diindikasikan dari kesulitan koperasi untuk mengembangkan
permodalan, teknologi produksi, pemasaran, dan informasi. Kesulitan tersebut
berpangkal dari adanya berbagai kondisi baik yang terbentuk secara alami
sebagai derivasi dari system perekonomian yang dilaksanakan, maupun yang timbul
dari berbagai peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya dukungan iklim usaha
yang kondusif bagi terbukanya peluang untuk berbisnis dan mengembangkan bisnis
sangat diperlukan bagi mereka. Sementara itu dewasa ini banyak pihak-pihak yang
secara oratoris menyatakan kepedulian, keberpihakan dan komitmennya yang kuat
pada ekonomi rakyat tetapi pada kenyataannya dari sisi kebijakan
operasionalnya, masih banyak pula peraturan perundangan baik di tingkat pusat
maupun di tingkat propinsi, kabupaten dan kota yang justru menjadi penghalang
bagi ekonom rakyat untuk dapat maju dan berkembang. Strategi, Koperasi, Iklim
Usaha, Perundangan, Ekonomi Rakyat.
I. Pendahuluan
Koperasi sudah dikenal sejak masa
kolonial sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berseberangan dengan sistem
ekonomi kapitalis/kolonialis yang pada waktu itu mendominasi perekonomian
negeri terjajah. Peran koperasi dalam era kolonial hanya sebatas memberikan
bantuan kepada para anggotanya terutama pegawai rendahan, para pedagang dan
petani miskin. Eksistensi koperasi dibatasi oleh berbagai peraturan yang tidak
berpihak kepada rakyat di negeri jajahan. Perjalanan panjang perjuangan
memajukan koperasi adalah sejalan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam
merebut kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan yang bernuansa demokrasi diharapkan
koperasi dapat tumbuh berkembang sejajar dengan usaha besar. Harapan tersebut
ternyata tidak dapat terwujud dengan baik. Irama pembangunan koperasi diawal
kemerdekaan ternyata juga diwarnai oleh ketidakmapanan sistem politik. Koperasi
baru memperlihatkan eksistensinya pada era orde baru, tetapi pada waktu itu
konsepsi pembinaan lebih diarahkan pada upaya menjadikan koperasi sebagai
kepanjangan tangan pemerintah dalam mendukung program-program sektoral terutama
di pedesaan, sehingga kemandirian koperasi tidak berkembang dengan baik. Dalam
era reformasi sekarang ini eksistensi koperasi ternyata semakin pudar. Pada
satu sisi koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, dan merupakan salah satu
pilar ekonomi, selayaknya perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pada
sisi lain, salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi pengangguran dan
mengentaskan kemiskinan dilakukan melalui program-program pemberdayaan ekonomi
rakyat. Dengan demikian, melalui pemberdayaan koperasi diharapkan akan
mendukung upaya pemerintah tersebut. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk
dapat menghasilkan program dan kebijakan yang dapat mendukung pemberdayaan
koperasi.
Grafik dibawah
ini memperlihatkan bahwa selama sepuluh tahun reformasi jumlah koperasi yang
aktif secara nasional meningkat. Namun apabila dicermati kenaikan tidak pada
semua Kabupaten/Kota, bahkan ada kenderungan semakin menurun, demikian juga
jumlah anggota koperasi, jumlah modal koperasi, jumlah volume usaha koperasi,
dan jumlah Sisa Hasil Usaha koperasi pada
harga tetap semakin menurun.
Kelembagaan
koperasi periode 2005-2006 mengalami perkembangan secara signifikan dengan laju
perkembangan sebanyak 6.363 unit atau 4,71 %. Terdapat 4 (empat) Propinsi
dengan peningkatan jumlah koperasi terbesar (diatas 15 %) periode 2005-2006.
Kepulauan Riau
sebesar 27,57 %, Maluku sebesar 18,07 %, Gorontalo sebesar 16,82 %, dan
Kalimantan Timur sebesar 15,48 %. Sedangkan Propinsi yang mengalami penurunan
jumlah koperasi adalah Papua Barat sebesar 12,18 %.
Perkembangan
jumlah koperasi aktif untuk periode yang sama secara nasional, tercatat
mengalami peningkatan sebanyak 4.126 unit atau 4,35 %. Ada 5 (lima) Propinsi
dengan peningkatan jumlah koperasi aktif terbesar (di atas 15%) adalah,
Kepulauan Riau sebesar 41,11 %, DKI Jakarta sebesar 20,27 %, Sulawesi Tengah
sebesar 19,40 %, Maluku Utara sebesar 17,11 %, dan Kalimantan Tengah sebesar
15,86 %.
Propinsi
dengan penurunan jumlah koperasi aktif secara berturut-turut adalah, Papua
Barat sebesar 12,98 %, Banten sebesar 10,63 %, Kalimantan Timur sebesar 7,18 %,
Lampung sebesar 3,31 %, Sulawesi Utara sebesar 1,75%, Jambi sebesar 0,49 %, dan
Riau sebesar 0,11 %.
Grafik 5. Jumlah Koperasi Tidak
Aktif Tahun 2005-2006 (dalam unit)
Sedangkan perkembangan jumlah
koperasi tidak aktif secara nasional tercatat sebanyak 2.237 unit atau 5,57 %.
Propinsi dengan peningkatan jumlah koperasi tidak aktif terbesar (di atas 50 %)
adalah Kalimantan Timur sebesar 254,31 %, Maluku sebesar 52,63 %, dan Gorontalo
sebesar 52,41 %. Propinsi yang mengalami penurunan jumlah koperasi tidak aktif
adalah, DKI Jakarta sebesar 19,36 %, Jawa Timur sebesar 16,31 %, Papua Barat
sebesar 11,43 %, Kalimantan Tengah sebesar 9,52 %, dan Nusa Tenggara Barat
sebesar 4,63%.9,52 %, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 4,63 %.
Perkembangan jumlah anggota
koperasi periode 2005-2006 mengalami peningkatan sebanyak 489.349 orang atau
1,79 %. Propinsi Riau memberikan kontribusi terbesar dalam peningkatan jumlah
anggota koperasi aktif, yaitu mencapai 107,58 %. Sedangkan Propinsi lainnya,
perkembangan jumlah anggota cukup berfluktuatif. Propinsi dengan peningkatan
jumlah anggota terbesar (di atas 12 %) adalah, Kalimantan Tengah sebesar 20,83
%, Jawa Barat sebesar 15,72 %, Jambi sebesar 14,84 %, Banten sebesar 13,10 %,
dan Bangka Belitung sebesar 12,70 %.
Sedangkan Propinsi yang mengalami
penurunan jumlah anggota terbesar adalah Maluku sebesar 48,28 %, DKI Jakarta
sebesar 37,76 %, Riau sebesar 7,01 %, Papua Barat sebesar 6,70 %, Sulawesi
Tenggara sebesar 4,26 %, Bengkulu sebesar 4,12 %, Jawa Timur sebesar 4,02 %,
Papua sebesar 3,78 %, Sulawesi Utara sebesar 0,44 %, dan Kalimantan Selatan
sebesar 0,41 %.
Hal menarik yang menjadi catatan
dalam menganalisis perkembangan jumlah koperasi, koperasi aktif, koperasi tidak
aktif dan perkembangan jumlah anggota adalah Propinsi dengan pertumbuhan jumlah
koperasi aktif terbesar tidak selalu diikuti menjadi Propinsi dengan
pertumbuhan jumlah anggota koperasi aktif terbesar. Hal tersebut dapat
dijelaskan bahwa peningkatan jumlah koperasi aktif juga dibarengi dengan
peningkatan jumlah kopersi tidak aktif. Hal tersebut pertumbuhan anggota
koperasi dimungkinkan karena sebagian besar disumbang oleh tumbuhnya koperasi
baru, bukan dari berkembangnya koperasi tidak aktif menjadi aktif.
Disisi lain, dengan adanya
otonomi daerah yang berdampak terjadinya pemekaran daerah Kabupaten/Kota, hal
ini berdampak juga pada terkendalanya laporan perkembangan koperasi dari daerah
mengingat percepatan pembentukan badan/instansi yang membidangi koperasi di
daerah tidak berjalan dengan baik. Kabupaten/kota hasil pemekaran biasanya akan
mengalami masa transisi pemerintahan, yang kemudian akan berdampak kepada
pembinaan lembaga dan penyampaian laporan kinerja koperasi ke Propinsi,
sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut. 45,508 46,057 Tahun 2005 Tahun
2006.
Nama : Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM : 27212517
Kelas : 2EB09
Nama : Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM : 27212517
Kelas : 2EB09
Tidak ada komentar:
Posting Komentar