Minggu, 29 Desember 2013

Review Jurnal

REVIEW
Strategi Koperasi Dalam Menghadapin Iklim Usaha yang Kurang Kondusif

Slamet Subandi

INFOKOP VOLUME 16-SEPTEMBER 2008: 102-119

III. Strategi Pengembangan Koperasi

 Tidaklah terlalu mengherankan bila meskipun berbagai permasalahan yang sejak beberapa tahun lalu telah dirasakan menjadi gangguan bagi ekonomi rakyat, namun sampai saat inipun masalah tersebut belum teratasi. Hal tersebut dikarenakan antara lain masih terbatasnya kemampuan koperasi untuk mengakses pada sumber modal, teknologi, pasar, informasi bisnis, rendahnya kuwalitas, kelembagaan, manajemen dan organisasi KUMKM.
Sementara itu tantangan lain yang tidak kalah pentingnya yang juga menghadang ekonomi rakyat adalah kemampuan dan kesanggupannya untuk berpotensi secara lebih produktif dan lebih efisien sebagai wujud pelaku ekonomi yang berkeunggulan kompetitif dalam menghadapi era globalisasi. Ancaman besar yang juga tengah dihadapi oleh ekonomi rakyat adalah persaingan
yang semakin tajam, tidak saja atas produk barang dan jasa dari para pelaku ekonomi di dalam negeri sendiri, tetapi juga masuknya produk-produk luar negeri yang sebenarnya sudah dapat diproduksi oleh ekonomi rakyat di tanah air yang tergelar bebas di pasar domestik, serta derasnya jaringan institusi bisnis internasional menerobos masuk ke tengah tengah masyarakat, termasuk keberadaan pasar- pasar modern yang merupakan hyper market. Sementara itu hambatan besar yang dihadapi ekonomi rakyat untuk tetap dapat bertahan, maju dan berkembang adalah tingkat kepedulian, keberpihakan, komitmen dari para pemimpin bangsa, para pengemban kekuasaan, para pihak terkait, para pemangku kepentingan yang tercermin tidak konsisten dan istiqomah.
Melihat kondisi perkoperasian di tanah air dewasa ini, sebagaimana diungkap dan disebutkan dengan jelas dalam dokumen RPJM Nasional tahun 2004-2009, bahwa “ …Banyak koperasi yang terbentuk tanpa didasari adanya            kebutuhan/kepentingan           ekonomi          bersama           dan      prinsip kesukarelaan dari para anggota sehingga kehilangan jati dirinya sebagai koperasi yang otonom dan swadaya dan mandiri …………”
Koperasi masih dijadikan oleh segelintir orang/kelompok, baik di luar maupun di dalam gerakan koperasi itu sendiri, untuk mewujudkan kepentingan pribadi atau golongannya, yang tidak sejalan atau bahkan bertentangan dengan kepentingan anggota koperasi yang bersangkutan dan nilai-nilai luhur dan prinsip-prinsip koperasi”, maka l,angkah pemurnian hendaknya dapat dilakukan dengan segera oleh semua pihak yang terkait dan para pemangku kepentingan, terutama kalangan gerakan koperasi sendiri secara serentak dan simultan. Bahkan bila perlu langkah tersebut dinyatakan sebagai gerakan nasional. Nampaknya semua jurus reformasi tersebut di atas, baik yang berupa langkah restorasi, rekonstruksi, konsolidasi, revitalisasi maupun regenuinisasi atau langkah pemurnian, harus dilakukan secara menyeluruh kepada semua koperasi dengan tetap  memperhatikan dan melakukan penyesuaian dengan kondisi yang berkembang pada masa kini dan mendatang.
Dalam kaitan ini, maka urgensi melahirkan, menumbuh kembangkan dan memerankan kembali   kader-kader koperasi, menjadi sangat relevan dan urgen untuk digarap kembali secara lebih sistemik dan komperehensif.
Pengefektifan mata pelajaran atau mata kuliah koperasi di lembaga-lembaga pendidikan,   keberadaan lembaga-lembaga semacam Sekolah Koperasi Menengah Atas (Skopma), Akademi Koperasi (Akop), Institut Manajemen Koperasi (Ikopin), serta intensitas dan ekstensitas diklat dan penyuluhan koperasi, kiranya akan dapat memberi kontribusi yang cukup signifikan bagi upaya tersebut.

Menurut Mutis (1999) untuk memberdayakan wirausaha dengan skala usaha kecil, menengah, dan koperasi ataupun kalangan usaha di sektor informal adalah salah satu bentuk menerjemahkan visi kerakyatan dalam fraxis bisnis kekinian.
Jenis agroindustri merupakan keputusan yang paling menentukan keberhasilan dan berkelanjutan agroindustri yang akan dibangun atau dikembangkan. Menurut UU Nomor 25 tahun 1992 Tentang Perkoperasian,  Koperasi adalah badan usaha yang beranggotakan orang seorang atau badan badan hukum koperasi dengan melandaskan kegiatannya berdasarkan prinsip koperasi, sekaligus sebagai gerakan ekonomi rakyat yang berdasar pada atas asas kekeluargaan.

Perlu dikemukakan bahwa lembaga koperasi dalam konteks ini bukan semata mata amanat Pasal 33 UUD 1945 normatif, melainkan yang Iebih hakiki adalah bahwa koperasi dalam
berbagai hal mempunyai keunggulan dibandingkan lembaga ekonomi lainnya, terutama pada agrobisnis agroindustri dan pembangunan ekonomi pedesaan (position). Demikian juga lembaga koperasi bukan satu satunya pilihan dalam mengembangkan agroindustri di Indonesia, melainkan suatu kelebihan yang cukup penting dan sangat besar artinya dalam mengembangkan kelembagaan koperasi, karena petani yang juga anggota koperasi selain sebagai anggota juga sebagai pemilik (owners) dan sekaligus sebagai pemakai (users).
Dari berbagai uraian di atas dapat dikemukakan bahwa dampak antara dari kedua kondisi tersebut adalah iklim usaha koperasi yang tidak mudah untuk dapat dieliminir oleh kalangan UMKM sendiri. Akibatnya usaha koperasi tidak pernah mencapai titik marginal produktivity. Dengan perkataan produktifitas koperasi selalu berada dibawah nilai harapan produktifitas yang sesuai dengan potensi   yang dimilikinya.
Tidak kondusifnya iklim usaha koperasi yang mempengaruhi produktifitas koperasi dapat dilihat dari berbagai aspek kegiatan usaha UMKM sebagai berikut :
1)   Rendahnya kualitas SDM
Disamping kajian dari aspek pendapatan juga perlu diperhatikan kondisi SDM usaha mikro dan usaha kecil dari aspek pengalaman, pengetahuan dan pendidikan mereka. Hasil pengamatan Suhartoyo di Kabupaten Tasikmalaya (IPB 2004), seperti memperlihatkan bahwa rata-rata pengalaman pengelola koperasi dibidang usaha yang ditekuninya relatif cukup baik, tetapi dari aspek pendidikan dan pengetahuan tentang inovasi dibidang produksi dan pengembangan teknologi serta, dibidang manajemen usaha dan pemasaran relatif rendah.
2)   Kesulitan untuk mengembangkan permodalan
Rata-rata pemilikan modal koperasi dari tahun ke tahun pada indeks harga tetap relatif rendah yaitu 114.231.647. Demikian juga pertumbuhan modal mereka tidak banyak berubah, kalaupun ada kecenderungan sedikit meningkat hal tersebut lebih disebabkan oleh adanya inflasi. Kondisi yang demikian nampaknya sangat wajar karena pendapatan yang diperoleh koperasi belum mencukupi untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga mereka.  Kecil sekali peluang bagi kelompok ini untuk menabung yang dapat digunakan untuk menambah modal atau meningkatkan investasinya.
 3)   Rendahnya kualitas teknologi
Hasil kajian Kementerian Negara Koperasi dan UKM tahun 2005 terhadap
27 koperasi contoh di 4 propinsi contoh menginformasikan bahwa nilai bobot rata-rata teknologi produksi yang digunakan oleh koperasi baru mencapai nilai 1,67 atau tergolong dalam kelompok pengguna teknologi tradisional. Lebih lanjut dikatakan pengembangan teknologi produksi dari produk-produk yang dihasilkan koperasi belum dapat meningkatkan produkfitas dan memperbaiki kualitas produk.
4)   Kelemahan akses terhadap Pasar
Kesulitan koperasi dalam membangun akses pasar lebih disebabkan oleh adanya beberapa faktor yang belum dapat dieliminasi terutama yang berkaitan dengan informasi. Tetapi kendala tersebut bukanlah harga mati, karena banyak variabel-variabel pemasaran produk koperasi yang dapat diandalkan seperti rendahnya harga jual produk koperasi yang menjadi daya tarik bagi sebagian kalangan di pasar internasional. Rendahnya eksistensi koperasi dalam penguasaan pasar memang lebih terlihat sebagai dampak dari kondisi pasar yang tidak kondusif. Namun sesungguhnya kondisi pasar yang demikian merupakan indikator dari adanya masalah pokok yang tidak terlihat secara nyata, yaitu sistem pemasaran yang dikuasai oleh komponen sistem yang lebih kuat, sehingga koperasi selalu hanya berperan sebagai Price Taker (penerima harga). Dengan mengembangkan kemampuan menangkap informasi, maka diharapkan dominansi komponen lainnya (para pedagang besar dan eksportir) yang memiliki bargaining lebih kuat, yang selama ini berperan sebagai price maker (pembuat harga) akan dapat dipatahkan.
Besarnya minat pasar internasional terhadap produk-produk koperasi di Indonesia menurut Wachidin (2001), terlihat di beberapa negara terutama di daerah Afrika dan di negara-negara Arab. Sebagian konsumen yang mengkosumsi produk-produk koperasi dari Indonesia ternyata tidak mengetahui bahwa barang yang mereka beli adalah produk dari koperasi di Indonesia.
Untuk mengatasi masalah tersebut, satu-satunya jalan yang dapat ditempuh adalah mengenalkan produk-produk koperasi tersebut dengan lebih mengembangkan jaringan pasar dan atau mengintensifkan kegiatan promosi. Kedua kegiatan tersebut belum sepenuhnya dapat dilakukan oleh koperasi karena keterbatasan yang ada dikalangan mereka antara lain, a) sebagian besar usaha mikro dan usaha kecil belum memiliki izin usaha, b) rendahnya pengetahuan tentang informasi pasar dan terbatasnya dana untuk melakukan kegiatan-kegiatan diluar kegiatan produksi. Hal ini tentu saja menjadi dasar pemikiran tentang perlunya peranan pemerintah untuk terlibat langsung dalam mengembangkan sistem pemasaran bagi koperasi. Tetapi pemikiran tersebut juga terbentur pada berbagai masalah struktural yang bermuara pada komitmen banyak pihak tentang perlunya memberdayakan koperasi dalam rangka membangun perekonomian nasional yang bercorak kerakyatan.
Organisasi koperasi dibentuk atas dasar kepentingan dan kesepakatan anggota pendirinya dan mempunyai tujuan utama untuk lebih mensejahterakan anggotanya. Sistem kontribusi insentif sangat relevan dalam suatu organisasi koperasi. Sistem tersebut dapat menjamin eksistensi koperasi dan sekaligus merangsang anggota untuk lebih berpartisipasi secara aktif. Dalam pembicaraan mengenai organisasi di masyarakat, khususnya di daerah perdesaan, kiranya lebih dulu perlu dipahami bahwa basis terendah dalam kehidupan pedesaan adalah “desa”, atau kampung, dusun dusun kecil yang penduduknya hidup berkelompok dengan keterikatan/ketergantungan antar individu yang sangat erat. Komunitas penduduk berlangsung dalam rangka membangun kehidupan yang pada awalnya bersifat subsistem. Meskipun demikian (pola hidup subsistem), kaitan pemasaran sudah ada dengan daerah urban yang lebih modern. Dalam hal ini, yang dikenal sebagai pedesaan adalah kumpulan rumah tangga petani yang secara tradisional mengambil keputusan keputusan produksi, konsumsi, dan investasi. Di sektor perkotaan kegiatan yang sama dilakukan oleh lembaga perusahaan dan rumah tangga secara terpisah dengan tujuan memaksimumkan penghasilan perusahaan.
Hayami (1981) menguraikan bahwa faktor kegiatan kolektif/kerja sarana kolektif (colective action sangat penting untuk diorganisir terhadap pemanfaatan aset masyarakat). Petani secara individu sebagai unit produksi terkecil sulit untuk memperbesar keluarannya karena produksi agraris dihadapkan pada kendala proses biologi yang dipengaruhi oleh unsur ekologis, perlu bekerjasama. Penggunaan aset masyarakat (public goods) seperti pemanfaatan air sungai, secara fisik dan kelembagaan dalam kaitan kerja sama kolektif memungkinkan petani untuk membangun dan memelihara social overhead capital, yang tidak saja mengurangi ketergantungan pada faktor alam, tetapi menghindarkan mereka dari konflik konflik sosial.
Hal lain yang patut dipertimbangkan mengenai kebutuhan kerja sama kolektif ditunjukkan oleh permintaan terhadap tenaga kerja. Pada musim panen permintaan tenaga kerja meningkat pesat dan di musim tertentu menurun drastis. Jadi, variasi musim sangat menentukan dan kegotong royongan masyarakat menjadi faktor penting guna mengatasi ketidakpastian tingkat produksi. Seringkali semangat gotong royong masyarakat diperlukan dalam kaitan pengalihan tenaga kerja, umpamanya penggantian tenaga kerja manusia dengan hewan dan mesin mesin (seperti traktor) guna meningkatkan produktivitas, yang bila tidak dilandasi jiwa kebersamaan tadi berbagai konflik kepentingan bisa muncul menjadi persoalan baru.
Sebagai contohnya dalam melakukan usaha, petani untuk menaikkan pendapatan keluarga dan faktor konsumsi keluarganya (melalui peningkatan produksi usaha taninya). Inilah, mereka banyak mengadakan kontak dengan dunia luar, terutama dalam memenuhi kebutuhan sarana produksi. Penggunaan faktor produksi sedikit banyak ditentukan oleh ketentuan adat istiadat melalui lembaga tradisional seperti sistem Mapalus di Sulawesi dan melalui kelompok tani. Dengan berorganisasi ini, koordinasi pemanfaatan sumberdaya yang langka bisa dinikmati oleh petani petani individu. Dengan demikian apa yang tampak dalam kehidupan ekonomi para petani adalah hubungan kekerabatan itu sangat erat dan berpengaruh besar, sebab mereka hidup di lokasi yang sama sehingga mendorong para petani bekerja sama untuk mempertahankan kehidupan.
IV.   Penutup
Dengan memperhatikan berbagai karakter dan potensi koperasi terutama dalam hal ketahanannya menghadapi kondisi perekonomian nasional yang belum berpihak kepada kelopok miskin maka sudah sepatutnya koperasi lebih diberdayakan. Kepentingan pemberdayaan koperasi terkait dengan penggunaan modal, penggunaan bahan baku lokal, serta kemampuan penyerapan tenaga kerja. Oleh karena itu maka dalam rangka mengatasi masalah pengangguran dan kemiskinan pemberdayaan koperasi menjadi salah satu opsi yang perlu diperhitungkan. Dari pemikiran yang demikian idealnya pendekatan pembangunan sekarang ini diarahkan pada usaha mempercepat proses pemberdayaan koperasi. Untuk mengimplementasikan konsepsi tersebut dalam bentuk program-program nyata diperlukan adanya komitmen politik yang kuat dari semua kalangan, dengan menghilangkan terlebih dahulu kepentingan politis, kelompok, maupun kedaerahan. Langkah kearah ini memerlukan kemampuan untuk memberikan keyakinan kepada para pengambil keputusan agar lebih berpihak kepada koperasi sebagai lembaga perekonomian rakyat. Namun demikian, sejauh tidak adanya proses komunikasi politik yang langsung dibangun dan ditumbuhkan oleh para pengambil kebijakan di pusat dan di daerah yang berdedikasi untuk memberdayakan koperasi, maka mustahil bagi koperasi untuk dapat berdiri sejajar dengan perusahaan besar. Sejalan dengan keinginan diatas perlu diperhatikan bahwa empat sektor utama yang menjadi basis usaha koperasi sekarang ini adalah sektor pertanian, industri, perdagangan, dan jasa. Keempat sektor tersebut dalam menghadapi pasar global yang sangat kompetitif terutama dua sektor yang sangat krusial adalah Industri dan perdagangan. Kedua sektor ini menjadi begitu penting karena dalam era globalisasi mendatang tantangan berat yang dihadapi adalah merubah orientasi pembangunan, dari orientasi pemenuhan kebutuhan dalam negeri ke usaha menghadapi persaingan pasar. Dalam kondisi yang demikian ternyata iklim usaha di dalam negeripun belum mendukung pemberdayaan koperasi. Hal ini di indikasikan dari sulitnya menperoleh pinjaman modal dan mendapatkan peluang usaha pada kegiatan bisnis tertentu seperti dalam penyaluran pupuk dan sembako.

Secara umum dapat dikatakan bahwa gambaran kondisi iklim usaha koperasi pada saat ini, dilihat dari peluang pemberdayaan UMKM dari waktu ke waktu, tempat ke tempat, dan sektor ke sektor belum mengindikasikan besarnya harapan pada kelompok usaha tersebut untuk pendukung tumbuhnya sistem perekonomian yang berkeadilan. Pemberdayaan koperasi memang sudah menjadi komitmen nasional dalam rangka mewujudkan keadilan pembangunan, karena koperasi memiliki potensi yang sangat besar untuk mendukung pemerataan pembangunan baik antar sektor, antara golongan maupun antar daerah. Kondisi iklim usaha yang diwarnai oleh masalah-masalah seperti dikemukakan diatas, tetap belum mampu untuk menjadikan koperasi sebagai basis pembangunan daerah yang sekaligus mendukung keberhasilan pembangunan nasional. Dampak dari adanya permasalahan tersebut terlihat nyata dalam bentuk, a) Rendahnya produktifitas koperasi yang berdampak pada timbulnya kesenjangan antara koperasi dengan usaha besar, b)Terbatasnya akses koperasi kepada sumberdaya produktif seperti permodalan teknologi dan pasar dan, c) Marjinalisasi dari kelompok ini baik dari aspek skala usaha, teknologi, informasi dan pendapatan mereka.
Ketiga dampak masalah yang mewarnai proses pemberdayaan koperasi tersebut pada hakekatnya merupakan dampak dari kebijakan makro ekonomi yang merupakan derivasi dari sistem perekonomian yang selama lebih dari empat puluh tahun mendewakan pertumbuhan.
Konsepsi perekonomian yang dimotori oleh kelompok pengusaha besar tersebut mencerminkan kepercayaan dari para pengambil kebijakan terhadap mekanisme pasar yang dapat mendistribusikan marjin secara proporsional diantara komponen-komponen sistem dalam sistem perekonomian liberal. Pemikiran Adam Smit yang mengilhami pengikut- pengikutnya dan dimordernisir oleh Schumpeter (1934) ini ternyata masih menjadi phobia bagi sebagian besar negara berkembang (termasuk Indonesia) dalam merancang sistem perekonomiannya.   Kepercayaan yang berlebihan pada paham ekonomi neoklasik yang sekarang telah berubah menjadi ultraneoklasik, tidak saja telah melahirkan konglomerasi tetapi juga telah membangun situasi perekonomian yang diwarnai berbagai ketimpangan yang antara lain adalah memburuknya iklim usaha bagi koperasi. Hal yang demikian juga terindikasi dari sangat tidak wajarnya rasio antara rata-rata pendapatan perkapita dengan angka kemiskinan.



DAFTA PUSTAKA

Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Ditjen Bina Lembaga
Koperasi, Jakarta.

Anonimous, (2003). Grand Strategi Pengembangan Sentra UKM. Kementrian
Koperasi dan UKM RI, Jakarta.

Anonimous, (2003). Pengkajian Dukungan Finansial dan Non Finansial Dalam Pengembangan Sentra bisnis Usaha Kecil dan Menengah. Kerjasama Kementrian Koperasi dan UKM dengan BPS, Jakarta.
Anonimus, (2007). Statistik Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Yudhoyono S. B., (2004). Terapkan Ekonomi Terbuka. Bisnis Indonesia. Kamis
21 Oktober 2004.

Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat, (1995). Instruksi Presiden Republik Indonesia            No.                   4        Tahun        1995   TentanGerakan   Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.

McGrath, Rita Gunther, Ian C. MacMillan, Sari Scheinberg, (1993), “Elitist, Risk- takers, and Rugged Individualsts? An Explatory Analysis of Cultural Dofferences Between Antrepreneurs and Non-Entrepreneurs”. Journal of Business Venturing, 7(2).

……………., (2004). Pedoman Penumbuhan dan Pengembagan Sentra Usaha
Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.









Nama   : Rizky Amelya
              Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM   : 26212592
              27212517

Kelas   : 2EB09

Review Jurnal

REVIEW
Strategi Koperasi Dalam Menghadapin Iklim Usaha yang Kurang Kondusif

Slamet Subandi

INFOKOP VOLUME 16-SEPTEMBER 2008: 102-119

II. Perubahan Kondisi Perekonomian dan Pembangunan Koperasi
Masalah pembangunan koperasi selama era kemerdekaan masih terjebak dalam persoalan-persoalan klasik seperti lemahnya partisipasi anggota, dan rendahnya akses koperasi terhadap sumber permodalan, pasar dan teknologi. Dari sini timbul pertanyaannya “apa sebenarnya yang telah mampu diperbuat oleh para pembina koperasi selama sudah lebih dari 60 tahun?”. Memang dari masa kemasa perkembangan koperasi berfluktuatif. Pada era orde lama sebenarnya banyak koperasi yang bagus-bagus atau koperasi-koperasi yang dapat melaksanakan berbagai ragam usahanya untuk kepentingan pelayanan bagi anggotanya. Koperasi-koperasi seperti ini pada waktu itu banyak terlihat di Kabupaten Tasik malaya, Pekalongan, Cilacap dan Purwokerto. Pada masa orde baru, koperasi seperti itu kebanyakan sulit dijumpai lagi, padahal frekuensi pembinaan terhadap koperasi pada masa itu dilakukan sedemikian intensif. Yang menjadi pertanyaan adalah “bagaimana bisa terjadi kondisi seperti itu?”. Disini perlu diperhatikan kembali anatomi koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibangun oleh anggotanya, dimiliki oleh anggota dan bekerja untuk kepentingan anggota. Konsepsi seperti ini jelas tertuang dalam UU Nomor 12 tahun 1967, tetapi jiwa dari prinsip dasar koperasi tersebut tidak terlihat jelas  pada UU Nomor 25 Tahun 1992. Kondisi seperti itu mungkin terkait dengan keinginan pemerintah pada waktu yang menghendaki koperasi dapat segera difungsikan sebagai lembaga penghimpun kekuatan ekonomi rakyat, yang dituntut untuk juga dapat memberikan pelayanan yang lebih luas bagi semua anggota masyarakat (termasuk yang bukan anggota koperasi), sehingga pada waktu itu ada istilah calon anggota dan anggota yang dilayani.
Dari aspek eksternal pembinaan koperasi, masalah lemahnya koordinasi dalam rangka pembinaan yang multi sektor merupakan lagu lama yang selalu diperdengarkan kembali dapat disinyalir, hal ini terkait dengan kebijaksanaan dasar pemberdayaan koperasi yang tidak secara tegas membagi tugas pembinaan secara sektoral. Sehingga ada kesan semua instansi sektoral mempunyai peran yang dominan tetapi tanggung jawab terhadap keberhasilannya kurang diperhatikan dan tanggung jawab tersebut akhirnya hanya dilimpahkan ke alamat Departemen/Kementerian Negara Koperasi dan UKM.
Disini terlihat secara lebih jelas peraturan perundang-undangan yang berlaku sekarang ini masih belum dapat mengakomodir penetapan peran tugas dan tanggung jawab antar instansi. Selama kebijakan dasar tersebut masih mengambang, maka koordinasi antar instansi pembina koperasi tetap akan seperti sekarang ini. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya adalah “bagaimana bentuk kelembagaan instansi pembina yang diharapkan mampu mensinerjikan instansi-instansi sektoral dalam pemberdayaan koperasi?”. Apakah bentuk Badan Koordinasi, Menteri Koordinator atau bentuk-bentuk lainnya.
Dalam era reformasi sekarang ini dengung pembangunan koperasi memang sudah sangat jarang terdengar. Demikian juga kecenderungan koperasi dijadikan kendaraan politik (hidden car for politicians) dari para politisi semakin berkurang. Kecenderungan tersebut masih mungkin akan terjadi selama unsur politik masih mendominasi kebijakan dan peraturan perkoperasian, atau selama pembinaan dari pemerintah masih mendominasi proses pemberdayaan koperasi. Yang menjadi pertanyaan disini adalah kembali pada “apakah pembinaan bagi koperasi masih diperlukan, dan sampai kapan peran pemerintah dapat dikeluarkan dari proses kehidupan koperasi?”. Ini juga merupakan pertanyaan klasik yang tidak pernah dapat terjawab, setelah sekian rezim berkuasa dan dalam waktu pemerintahannya selalu menempatkan koperasi sebagai lembaga ekonomi masyarakat lemah. Dampak akhir yang terlihat adalah kelompok masyarakat lemah tersebut tidak pernah juga dapat diperkuat kondisi dan kedudukannya dalam perekonomian nasional.
Inti permasahan yang dihadapi oleh koperasi sekarang ini adalah ketidakmampuan koperasi untuk menjadi lembaga usaha yang mampu memberikan pelayanan kepada anggotanya dalam menghadapi kondisi perekonomian global yang tidak berpihak kepada kelompok ekonomi lemah. Kelemahan internal koperasi lebih diperburuk lagi dengan kondisi lingkungan yang diciptakan oleh era globalisasi dan kebijakan makro yang tidak memberikan kesempatan kepada mereka yang tidak dapat mengembangkan efisiensi atau inovasi dalam berusaha. Efisiensi merupakan fungsi ekonomi yang terkait langsung dengan inovasi teknologi dan kecanggihan manajemen informasi. Koperasi sebagai badan usaha ekonomi yang dibentuk oleh para anggotanya yang umumnya terdiri dari UMKM terlihat sulit untuk dapat mengembangkan faktor kunci globalisasi tersebut (efisiensi dan inovasi).
Pertanyaannya kemudian adalah “apakah koperasi tidak memiliki peluang untuk tetap dapat eksis dalam perekonomian nasional yang semakin pekat diwarnai oleh kondisi globalisasi?”. Untuk menjawab pertanyaan ini perlu diperhatikan banyak aspek terutama yang berkaitan dengan kendala permasalahan potensi dan peluang koperasi.  Persoalan yang muncul jarang diselesaikan dari akar permasalahannya. Hal ini memang biasa dilakukan oleh orang-orang yang tidak mendalami dengan baik tentang suatu persoalan yang akan diselesaikan. Tetapi adalah naïf jika orang tersebut sebenarnya berada dalam suatu sistem yang menghadapi permasalahan dalam jangka waktu yang cukup panjang. Hal seperti ini tentunya menimbulkan pertanyaan yang harus dijawab bukan hanya dengan ilmu pengetahuan dan pengalaman, tetapi yang lebih penting disini perlu dipertimbangkan adalah sejauh mana hati nurani berperan. Hal-hal seperti itu memang sudah berlangsung cukup lama dan tidak pernah mengalami perubahan. Walaupun sudah lebih dari tiga generasi atau orang-orang yang bekerja dilingkungan Departemen /Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Pertanyaan lebih lanjut “adakah cara penyelesaian masalah seperti itu masih akan terus dipertahankan dan sampai kapan?”. Jawaban atas pertanyaan tersebut tentunya tidak dapat diberikan dalam waktu dekat karena disini juga moral dan hati nurani harus ikut berperan.
Kondisi yang terlihat sekarang ini adalah bahwa jangankan anggota koperasi, dikalangan pembina koperasipun sekarang ini masih banyak yang belum mengetahui dengan pasti yang dimaksud dengan asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi. Apalagi setelah era otonomi daerah, banyak kalangan pembina koperasi di daerah yang sebelumnya tidak mengetahui sama sekali tentang koperasi. Yang menjadi pertanyaan selanjutnya “Hendak kemana diarahkan dan koperasi di bawa?”. Pertanyaan tersebut seharusnya dikeluarkan oleh para pemerhati dan pecinta koperasi, namun syah saja kalau para pembina koperasi sekalipun masih mengemukan pertanyaan yang sama sebagai gejolak nuraninya yang paling dalam. Satu hal yang mungkin dapat diinformasikan adalah bahwa dikalangan pembina di Tingkat Pusatpun, mungkin banyak manusia yang bernama pembina koperasi tetapi tidak memahami sama sekali tentang asas dan prinsip-prinsip dasar koperasi, karena mereka memang berasal dari lingkungan di luar koperasi. Oleh sebab itu maka wajar-wajar saja bila kebijakan- kebijakan yang diambil tidak relevan dengan kepentingan pemberdayaan koperasi. Yang sangat ironis adalah bahwa kebijakan-kebijakan seperti itulah yang pada akhirnya sering membunuh kreatifitas kalangan yang menginginkan koperasi tumbuh dan berkembang sesuai dengan asas dan prinsip dasarnya.
Hal ini pulalah yang menyebabkan banyak unsur pendukung pemberdayaan koperasi yang terlepas dari akarnya seperti Perum PKK, Bank Bukopin dan PT. PNM.
Persoalan komplementer yang juga perlu mendapat perhatian serius adalah penyusunan kebijakan dan program-program pembangunan koperasi terkesan bukan untuk jangka panjang dan berkesinambungan (long term and sustainable), tetapi lebih didasarkan kepada selera pejabat. Kondisi seperti ini juga masih merupakan masalah klasik yang sulit untuk diatasi karena kebijakan Kementerian Negara Koperasi dan UKM adalah derivasi dari kebijakan pembangunan nasional. Sedangkan dalam RTJM rencana kegiatan dikemukakan secara normatif yang mungkin hanya dapat dibaca dengan baik oleh kalangan yang mengerti tentang koperasi. Sebaliknya seperti dikemukakan diatas, sebagian kalangan pembina koperasi sendiri cenderung banyak yang belum memahami tentang koperasi baik dari aspek asas dan prinsip-prinsip dasarnya, maupun dari aspek persoalan kehidupan koperasi di lapangan yang secara langsung dipengaruhi oleh faktor lingkungan yang dinamis. Sama halnya dengan UMKM yang lain, permasalahan eksternal yang paling mendasar yang dihadapi oleh koperasi ekonomi rakyat adalah masalah iklim usaha. Belum membaiknya iklim usaha di lingkungan koperasi antara lain diindikasikan dari kesulitan koperasi untuk mengembangkan permodalan, teknologi produksi, pemasaran dan informasi. Kesemua kesulitan tersebut berpangkal dari adanya berbagai kondisi baik yang terbentuk secara alami sebagai derivasi dari sistem perekonomian yang dilaksanakan, maupun yang timbul dari berbagai peraturan perundang-undangan  pengembangan.  Oleh karenanya dukungan iklim usaha yang kondusif bagi terbukanya peluang untuk berbisnis dan mengembangkan bisnis sangat diperlukan bagi UMKM.
Sementara dewasa ini banyak sekali pihak-pihak yang secara oratoris menyatakan kepedulian, keberpihakan dan komitmennya yang kuat pada ekonomi rakyat tetapi pada kenyataannya dari sisi kebijakan operasionalnya masih banyak pula  peraturan perundangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat Propinsi, Kabupaten dan Kota yang justru menjadi penghalang bagi ekonomi rakyat untuk dapat maju dan berkembang.



DAFTA PUSTAKA

Anonimous, (1992). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 25 Tahun 1992
Tentang Perkoperasian. Departemen Koperasi, Ditjen Bina Lembaga
Koperasi, Jakarta.

Anonimous, (2003). Grand Strategi Pengembangan Sentra UKM. Kementrian
Koperasi dan UKM RI, Jakarta.

Anonimous, (2003). Pengkajian Dukungan Finansial dan Non Finansial Dalam Pengembangan Sentra bisnis Usaha Kecil dan Menengah. Kerjasama Kementrian Koperasi dan UKM dengan BPS, Jakarta.
Anonimus, (2007). Statistik Koperasi Kementerian Negara Koperasi dan UKM. Yudhoyono S. B., (2004). Terapkan Ekonomi Terbuka. Bisnis Indonesia. Kamis
21 Oktober 2004.

Kewirausahaan Indonesia dengan Semangat, (1995). Instruksi Presiden Republik Indonesia            No.                   4        Tahun        1995   TentanGerakan   Nasional Memasyarakatkan dan Membudayakan Kewirausahaan.

McGrath, Rita Gunther, Ian C. MacMillan, Sari Scheinberg, (1993), “Elitist, Risk- takers, and Rugged Individualsts? An Explatory Analysis of Cultural Dofferences Between Antrepreneurs and Non-Entrepreneurs”. Journal of Business Venturing, 7(2).

……………., (2004). Pedoman Penumbuhan dan Pengembagan Sentra Usaha
Kecil dan Menengah Kementerian Koperasi dan UKM. Jakarta.
















Nama  : Rachmah Meylandari
             Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM : 25212821    
           27212517          

Kelas : 2EB09

Sabtu, 26 Oktober 2013

Review Jurnal


Reviem Jurnal
STRATEGI KOPERASI DALAM MENGHADAPI
IKLIM USAHA YANG KURANG KONDUSIF
Slamet Subandi
Kasubid perencanaan dan penelitipada deputi bidang pengkajian sumberdaya UKMK
INFOKOP VOLUME 16 - SEPTEMBER 2008 : 102-125

Abstrak
Permasalahan eksternal yang paling mendasar yang dihadapi oleh koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat adalah masalah iklim usaha. Belum membaiknya iklim usaha dilingkungan koperasi antara lain diindikasikan dari kesulitan koperasi untuk mengembangkan permodalan, teknologi produksi, pemasaran, dan informasi. Kesulitan tersebut berpangkal dari adanya berbagai kondisi baik yang terbentuk secara alami sebagai derivasi dari system perekonomian yang dilaksanakan, maupun yang timbul dari berbagai peraturan perundang-undangan. Oleh karenanya dukungan iklim usaha yang kondusif bagi terbukanya peluang untuk berbisnis dan mengembangkan bisnis sangat diperlukan bagi mereka. Sementara itu dewasa ini banyak pihak-pihak yang secara oratoris menyatakan kepedulian, keberpihakan dan komitmennya yang kuat pada ekonomi rakyat tetapi pada kenyataannya dari sisi kebijakan operasionalnya, masih banyak pula peraturan perundangan baik di tingkat pusat maupun di tingkat propinsi, kabupaten dan kota yang justru menjadi penghalang bagi ekonom rakyat untuk dapat maju dan berkembang. Strategi, Koperasi, Iklim Usaha, Perundangan, Ekonomi Rakyat.

I. Pendahuluan
Koperasi sudah dikenal sejak masa kolonial sebagai lembaga ekonomi rakyat yang berseberangan dengan sistem ekonomi kapitalis/kolonialis yang pada waktu itu mendominasi perekonomian negeri terjajah. Peran koperasi dalam era kolonial hanya sebatas memberikan bantuan kepada para anggotanya terutama pegawai rendahan, para pedagang dan petani miskin. Eksistensi koperasi dibatasi oleh berbagai peraturan yang tidak berpihak kepada rakyat di negeri jajahan. Perjalanan panjang perjuangan memajukan koperasi adalah sejalan dengan perjuangan bangsa Indonesia dalam merebut kemerdekaan. Dalam era kemerdekaan yang bernuansa demokrasi diharapkan koperasi dapat tumbuh berkembang sejajar dengan usaha besar. Harapan tersebut ternyata tidak dapat terwujud dengan baik. Irama pembangunan koperasi diawal kemerdekaan ternyata juga diwarnai oleh ketidakmapanan sistem politik. Koperasi baru memperlihatkan eksistensinya pada era orde baru, tetapi pada waktu itu konsepsi pembinaan lebih diarahkan pada upaya menjadikan koperasi sebagai kepanjangan tangan pemerintah dalam mendukung program-program sektoral terutama di pedesaan, sehingga kemandirian koperasi tidak berkembang dengan baik. Dalam era reformasi sekarang ini eksistensi koperasi ternyata semakin pudar. Pada satu sisi koperasi sebagai gerakan ekonomi rakyat, dan merupakan salah satu pilar ekonomi, selayaknya perlu mendapat perhatian serius dari pemerintah. Pada sisi lain, salah satu upaya pemerintah dalam mengurangi pengangguran dan mengentaskan kemiskinan dilakukan melalui program-program pemberdayaan ekonomi rakyat. Dengan demikian, melalui pemberdayaan koperasi diharapkan akan mendukung upaya pemerintah tersebut. Pemerintah dalam hal ini dituntut untuk dapat menghasilkan program dan kebijakan yang dapat mendukung pemberdayaan koperasi.
Grafik dibawah ini memperlihatkan bahwa selama sepuluh tahun reformasi jumlah koperasi yang aktif secara nasional meningkat. Namun apabila dicermati kenaikan tidak pada semua Kabupaten/Kota, bahkan ada kenderungan semakin menurun, demikian juga jumlah anggota koperasi, jumlah modal koperasi, jumlah volume usaha koperasi, dan jumlah Sisa Hasil Usaha koperasi pada
harga tetap semakin menurun.




Kelembagaan koperasi periode 2005-2006 mengalami perkembangan secara signifikan dengan laju perkembangan sebanyak 6.363 unit atau 4,71 %. Terdapat 4 (empat) Propinsi dengan peningkatan jumlah koperasi terbesar (diatas 15 %) periode 2005-2006.
Kepulauan Riau sebesar 27,57 %, Maluku sebesar 18,07 %, Gorontalo sebesar 16,82 %, dan Kalimantan Timur sebesar 15,48 %. Sedangkan Propinsi yang mengalami penurunan jumlah koperasi adalah Papua Barat sebesar 12,18 %.
Perkembangan jumlah koperasi aktif untuk periode yang sama secara nasional, tercatat mengalami peningkatan sebanyak 4.126 unit atau 4,35 %. Ada 5 (lima) Propinsi dengan peningkatan jumlah koperasi aktif terbesar (di atas 15%) adalah, Kepulauan Riau sebesar 41,11 %, DKI Jakarta sebesar 20,27 %, Sulawesi Tengah sebesar 19,40 %, Maluku Utara sebesar 17,11 %, dan Kalimantan Tengah sebesar 15,86 %.
Propinsi dengan penurunan jumlah koperasi aktif secara berturut-turut adalah, Papua Barat sebesar 12,98 %, Banten sebesar 10,63 %, Kalimantan Timur sebesar 7,18 %, Lampung sebesar 3,31 %, Sulawesi Utara sebesar 1,75%, Jambi sebesar 0,49 %, dan Riau sebesar 0,11 %.







Grafik 5. Jumlah Koperasi Tidak Aktif Tahun 2005-2006 (dalam unit)

Sedangkan perkembangan jumlah koperasi tidak aktif secara nasional tercatat sebanyak 2.237 unit atau 5,57 %. Propinsi dengan peningkatan jumlah koperasi tidak aktif terbesar (di atas 50 %) adalah Kalimantan Timur sebesar 254,31 %, Maluku sebesar 52,63 %, dan Gorontalo sebesar 52,41 %. Propinsi yang mengalami penurunan jumlah koperasi tidak aktif adalah, DKI Jakarta sebesar 19,36 %, Jawa Timur sebesar 16,31 %, Papua Barat sebesar 11,43 %, Kalimantan Tengah sebesar 9,52 %, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 4,63%.9,52 %, dan Nusa Tenggara Barat sebesar 4,63 %.

Perkembangan jumlah anggota koperasi periode 2005-2006 mengalami peningkatan sebanyak 489.349 orang atau 1,79 %. Propinsi Riau memberikan kontribusi terbesar dalam peningkatan jumlah anggota koperasi aktif, yaitu mencapai 107,58 %. Sedangkan Propinsi lainnya, perkembangan jumlah anggota cukup berfluktuatif. Propinsi dengan peningkatan jumlah anggota terbesar (di atas 12 %) adalah, Kalimantan Tengah sebesar 20,83 %, Jawa Barat sebesar 15,72 %, Jambi sebesar 14,84 %, Banten sebesar 13,10 %, dan Bangka Belitung sebesar 12,70 %.

Sedangkan Propinsi yang mengalami penurunan jumlah anggota terbesar adalah Maluku sebesar 48,28 %, DKI Jakarta sebesar 37,76 %, Riau sebesar 7,01 %, Papua Barat sebesar 6,70 %, Sulawesi Tenggara sebesar 4,26 %, Bengkulu sebesar 4,12 %, Jawa Timur sebesar 4,02 %, Papua sebesar 3,78 %, Sulawesi Utara sebesar 0,44 %, dan Kalimantan Selatan sebesar 0,41 %.
Hal menarik yang menjadi catatan dalam menganalisis perkembangan jumlah koperasi, koperasi aktif, koperasi tidak aktif dan perkembangan jumlah anggota adalah Propinsi dengan pertumbuhan jumlah koperasi aktif terbesar tidak selalu diikuti menjadi Propinsi dengan pertumbuhan jumlah anggota koperasi aktif terbesar. Hal tersebut dapat dijelaskan bahwa peningkatan jumlah koperasi aktif juga dibarengi dengan peningkatan jumlah kopersi tidak aktif. Hal tersebut pertumbuhan anggota koperasi dimungkinkan karena sebagian besar disumbang oleh tumbuhnya koperasi baru, bukan dari berkembangnya koperasi tidak aktif menjadi aktif.

Disisi lain, dengan adanya otonomi daerah yang berdampak terjadinya pemekaran daerah Kabupaten/Kota, hal ini berdampak juga pada terkendalanya laporan perkembangan koperasi dari daerah mengingat percepatan pembentukan badan/instansi yang membidangi koperasi di daerah tidak berjalan dengan baik. Kabupaten/kota hasil pemekaran biasanya akan mengalami masa transisi pemerintahan, yang kemudian akan berdampak kepada pembinaan lembaga dan penyampaian laporan kinerja koperasi ke Propinsi, sehingga perlu dilakukan kajian lebih lanjut. 45,508 46,057 Tahun 2005 Tahun 2006.


Nama : Ulfah Maghfirotun Khasanah
NPM  : 27212517
Kelas  : 2EB09